BELATUNG EMAS
Oleh Doddi Ahmad Fauji
Konsep sedekah sumberdaya sampah hayati (organik) dan beternak belatung emas, harus diintegrasikan dengan peternakan unggas atau ikan predator. Cuan akan datang, jika berhasil menggalang sinergi dan edukasi dengan semua pemangku kepentingan persampahan di Republik ini.
PERTAMA kali melihat belatung emas secara langsung, saya bergidikan dan bulu roma terasa berdiri. Belatung itu terlihat sangat ‘rutey’, berjejalan tumpang tindih, bergerak cepat pindah tempat, bikin jijik, dan menguarkan rasa takut akan tertular bakteri atau virus mematikan. Ilmu kedokteran menerangkan, belatung bisa menyebarkan penyakit (vector) berupa bakteri, kuman, virus, atau kutu yang mematikan, seperti kutu pès yang menyebabkan 20 juta penduduk Eropa mati dalam peristiwa ‘the dark age’ sekira abad pertengahan.
Namun karena Mang Asep yang mengelola belatung emas itu menggenggamnya dengan lengan, maka saya pun yakin pada keterangan yang bertebaran di internet, yèn belatung emas bukan vector pembawa penyakit. Meski dengan rasa ragu, saya coba menggenggamnya. Ada rasa geli ketika belatung itu melata luak-liuk di telapak tangan.
Belatung emas adalah istilah yang saya buat sendiri, untuk mengganti kata Maggot BSF (Black Soldier Fly) yang sudah tenar dan makin ‘booming’ saat ini. Diksi maggot berasal dari luar, yang bila di-Indonesiakan, kurang lebih artinya ‘belatung’. Disebut belatung emas, karena maggot yang berasal dari lalat hitam itu, bukan saja tidak menyebarkan penyakit, tapi justru malah membawa banyak fungsi dan manfaat seabrek untuk manusia. Mengenai apa saja manfaat maggot BSF dan seluk-beluk lainnya, akan saya paparkan pada bagian-bagian lain di depan.
Saya melihat belatung emas atau maggot BSF untuk kali pertamanya itu, di Pasar Ciwastra, Kota Bandung, sekira pertengahan 2018. Mang Asep, salah satu yang menjadi outsource untuk mengolah sumberdaya sampah hayati, menjadi pupuk organik cair (POC) dan ternak maggot BSF. Produksi POC, maggot, dan pupuk serbuk kompos bekas maggot, memang harus satu paket, supaya selaras dengan petuah ‘Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui’.
Saya bergerak ke Pasar Ciwastra, sesuai informasi yang diperoleh dari petunjuk di internet, yèn di sana ada pengelolaan maggot BSF. Di Kota Bandung, bisa dikatakan semua pasar tradisional tampak kumuh dengan dijejali aneka sampah, dan kiranya di berbagai pasar tradisional daerah lain juga, tak jauh beda tampilan visualnya. Karena itu, Dinas yang mengurusi pasar di Bandung, kata Mang Asep, mencanangkan untuk beternak belatung emas. Bekerjasama dengan Perusahaan Daerah yang mengelola pasar di Kota Bandung, upaya mengurangi sampah itu coba diwujudkan dengan mendatangkan tenaga outsource. Pasar Ciwastra menjadi pilot project.
Dari Asep itu, saya dapat informasi, di Pasar Astanaanyar pun akan segera dikembangkan peternakan maggot, dengan konsultannya Agus Hermawan. Hari itu juga saya ke Pasar Astaanyar, untuk melihat praktik ternak maggot, dan bertemu Agus Hermawan. Tapi di Astaanyar masih pepeta (persiapan). Ternyata Agus itu satu kelurahan dengan saya, di Sukaasih. Menurut Agus, setelah saya dapatkan nomor kontaknya, tak usah jauh-jauh, di Kelurahan Sukaasih juga, di perumahan Bumi Kopo Kencana, ada ternak maggot yang ia kelola Bersama tim Gober Kelurahan. Karena menyebut di kelurahan Sukaasih ada maggot, maka saya kontak lurah Sukaasih, Ade Rahayu, dan membenarkan pengelolaan maggot untuk konversi sampah organik, dikelola oleh LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), yang diketuai oleh Agus Hermawan.
Saya berkenalan dengan maggot BSF, pada mulanya berangkat dari keinginan mencari pakan alternatif untuk ayam. Ada ruangan di lantai dua, sekira 10 X 6 meter persegi, perlu dimanfaatkan dengan kegiatan positif yang mengajak tubuh untuk bergerak, semacam olahraga tingan, di samping tentunya dapat menghasilkan cuan walau kecil. Semula saya memilih nanam ‘cengek’ atau cabe rawit hibrida.
Saat hujan datang, daun cabe jadi kriting. Saya curiga, hujan di Kota Bandung kemungkinan mengandung zat asam akibat polusi udara. Kecurigaan saya dikuatkan oleh laporan di beberapa portal berita terpercaya macam kompas.com, detik.com, jlbg.geologi.esdm.go.id, dll. Secara logika, kota Bandung berada di lokasi cekungan dengan dikelilingi lereng gunung dari semua arah, membuat Bandung tampak seperti kuali besar, menyebabkan udara sulit bermigrasi dan hanya memiuh di sana. Itulah yang memicu terjadinya polusi udara akibat pencemaran dari pabrik, emisi kendaraan, maupun pembakaran dari rumah.
Akhirnya saya alih ujicoba dari nanam cabe rawit ke beternak ayam. Saya ujicoba ternak dua pasang ayam kapung. Ayam ini termasuk unggas yang boros pakan, maka dari itu, perlu pakan alternatif. Setelah berselancar di internet, ketemulah dengan diksi yang unik: Hermetia illucens!
Nama ilmiahnya terdengar indah, bahkan bisa dijadikan nama manusia. Kata illucens rada dekat pada diksi ‘ilusi’, atau angan-angan yang tak terbayangkan oleh indra. Mengurangi sampah dengan beternak belatung, namun bisa menjadi eksportir dan meraih cuan berkarung-karung, jelas itu rada-rada ilusionis. Tapi fakta menunjukkan, sudah banyak peternak maggot yang serius, berhasil menjadi milyarder. Di kanal youtube maupun di web, ada beberapa peternak maggot yang sudah sukses memasuki ranah industri. Tentang hal ini, bisa dicari dalam mesin telusur dengan meletakkan klausa ‘peternak maggot sukses’. Jika sudah ada yang berhasil, why not saya nyoba maggot?
(Bersambung)
Teknik Ternak Maggot dari A – Z:
http://Teknik Ternak Maggot dari A – Z: https://youtu.be/cRMJ072Yvfw
Mengolah Maggot untuk Pakan Ayman Petelur: