SMAN 24 Bandung, Menuju Sekolah Literasi
Teks oleh Doddi Ahmad Fauji
Foto oleh Teguh Sri Rahayu
Kulirik Isabela dengan ekor mataku, namun ia tak nampak. Ke manakah Isabela, adakah ia sudah mati?
Isabela yang bisa mengingatkan para ‘old version’ ke sebuah lagu hits di akhir dekade 1980-an, yang dilantunkan vokalis melengking Amy Search, grup band dari Jiran, itu bukanlah manusia atau tokoh dalam opera sabun, melainkan salah satu varian anggur lokal yang digadang-gadang tahan banting terhadap cuaca panas atau dingin, gunung atau pantai. Intinya, Isabela adalah salah satu jenis anggur yang banyak dibudidayakan masyarakat di iklim tropis, karena mudah didapat dan punya tahan banting dari hama yang bisa membunuhnya.
Bertempat di pekarangan depan SMAN 24 Bandung, pada 19 Desember 2018 lalu, kami pernah menanam Isabela dengan sungguh-sungguh, dengan sejumlah idelogi dan kehendak estetik yang menyertainya. Benih Isabela stek bertingi sejengkal itu, ditanam secara simbolik oleh tokoh Sunda yang kesohor karena hilangnya palu sidang saat akan mengetuk keputusan rapat pelno DPR-RI, yaitu Popong Otje Djundjunan, yang kala diminta menanam anggur, ia baru usai menjabat anggota DPR-RI untuk periode ke-5. Popong adalah legislator dari partey berlogo beringin, selama lima periode ia berkantor di Senayan.
Menghadirkan Popong untuk menanam anggur, menegaskan kesungguhan kami yang hendak beranggur di sekolah-sekolah Jawa Barat. Kalau kami tak sungguh-sungguh, nanam anggur kan bisa dilakukan oleh siapapun.
Disaksikan kepala SMAN 24 Bandung kala itu, Iwan Setiawan, penanaman anggur ini disimbolkan sebagai gerakan peduli lingkungan. Anggur dipilih, karena dapat menjadi tanaman hias sekaligus tanaman produktif yang membutuhkan ketekunan tinggi dalam merawatnya. Isabela dipilih, karena mudah didapat dan tahan banting.
Bila Isabela mati, bisa jadi kami kehilangan daya tekun, dan atau memang kami tak cocok jadi penganggur.
Panitia peringatan Milangkala Dewi Sartika yang ke-135, yang menggagas gerakan ‘menganggur’ di gedung-gedung sekolah. Sebnyak 100 bibit didatangkan lewat olshop dari petani Probolinggo. Dan, bibit-bibit itu dibagikan kepada para guru yang turut hadir di SMAN 24 dalam Milangkala Dewi Sartika yang mestinya diperingati pada 4 Desember, bertepatan dengan hari lahirnya pendiri ‘Sakola Kautamaan Istri’ pada 16 Januari 1904 itu. Inilah sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda. Entah seperti apa nasib Isabela yang diambil para guru kala itu. Yang jelas, di SMAN 24 tak tampak sulur-sulurnya, saat dilirik oleh ekor mata.
Dewi Sartika ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional di bidang Pendidikan oleh Bung Karno, pada 1 Desember 1966, atau 2 tahun setelah RA Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasoinal. Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884, sedang RA Kartini pada 21 April 1880.
Sejak ditetapkan sebagai pahlawan, Kartini selalu diperingati di mana-mana secara nasional, sedang Dewi Sartika hanya sekali pernah diperingari secara nasional, yaitu pada 1966 itu. Setelah Bung Karno lengser, bahkan Dewi Sartika terlupakan di Jawa Barat, dan tak di mana-mana ia diperingati. Hanya segelintir kalangan yang berujuang mengenangnya di Jawa Barat. Ada apakah ini?
“Kumaha aing, da Persib mah nu aing,” begitulah salah satu kelakar orang Sunda, khususon orang Bandung. Kelakar itu tak semata-mata muncul, namun bisa menjadi gambaran watak orang Sunda. Maka dapat dimaklumi bila Dewi Sartika terlupakan. Bukan hanya Dewi Sartika, sederet orang masa lalu yang berjasa di tatar Pasundan, terlupakan justru di tanah kiprahnya. Bisa disebut sederet nama para pejasa namun terlupakan, seperti Lasminingrat, KH. Hasan Mustapa, Mochammad Toha, Otto Iskandar Dinata, Ir. Djuanda. Bila dicari lagi, akan panjang deretan nama yang terlah berjasa di masa lalu, namun terlupakan kini. Tentang nama-nama tokoh di atas, tak perlu saya paparkan di sini. Biarlah sidang pembaca mencari tahu sendiri.
Tapi ada dua kata kunci ingin disebut di sini: Lasminingrat berusia sekira 156 tahun, sedang Ir. Djuanda yang orang Tasik itu, menjadi nama Bandara di Surabaya, karena Bung Karno hendak mengenang tokoh Sunda yang berjasa untuk internasional melalui konsepsi cara ukur luas laut sebuah negara.
Isabela di SMAN 24 sebenarnya pernah tumbuh mekar dan merambat. Namun sejak pandemi menjelang, dan sekolah dipindahkan ke rumah mulai 1 Maret 2020, banyak soal dan hal jadi terbengkelai di sekolah. Salah satunya infrastuktur sekolah yang tak terurus. Mending kalau hanya pohonan mati karena tak terurus. Di beberapa sekolah, malah ada yang kehilangan komputer hingga satu laboratorium, yang bisa diduga dicolong maling. Di SMPN 1 Cisalak Kabupaten Subang, taman dan tempat tata Kelola sampah yang diadakan oleh perusahaan air minum di sana, raib karena tangan-tangan jahil.
“Pendidikan pada masa pandemi itu tentu ada banyak kebaikannya. Tapi tak sedikit juga kekurangannya. Nilai siswa di banyak sekolah jatuh, karena kita menghadapi tradisi baru pembelajaran jarak jauh yang sulit dipantau. Bisa jadi guru sangat bersungguh-sungguh memaparkan materi, tapi siswanya malah tidur dengan tetap menyalakan zoom,” kata Dr. Andang Segara, M.M.Pd., kepala SMAN 24 Bandung terbaru, di kantornya.
Andang mulai menjabat di SMAN 24 Bandung pada awal Mei 2022 ini, menggantikan Dedi Suryadi yang purnabakti. Sebelumnya Andang menjabat Kepsek di SMAN 9 Bandung.
“Saya melihat sekilas dalam laporan rencana sekolah. Ada yang bagus nih, para siswa kelas 12 akan menerbitkan kumpulan cerita nyata di masa pandemi. Pokoknya menulis itu bagus. Tapi sekarang kita memasuki pascapandemi. Nah untuk ke depannya, coba siswa lain menuliskan proses pembelajaran pascapandemi,” kata Andang kepada Neulis Rahmawati dan Sri Endang, yang menjadi guru Bahasa Indonesia kelas 12.
Hadir pula Bu Teguh, salah satu pengelola Perpus SMAN 24, dan saya bersama Lutfi Faudzil dari penerbit SituSeni yang bermitra dengan SMAN 24 untuk menerbitkan 11 judul buku karya siswa kelas MIPA 7 kelas, dan kelas sosial 4 kelas. Serta akan dilakukan seleksi sekira 50 karya terbaik dari 300-an lebih karya siswa itu, untuk dibukukan menjadi ‘masterpeace’ angkatan pandemi yang lulus pada 2022 ini.
“Pokoknya jangan tergesa-gesa. Bila hanya menerbitkan untuk kebutuhan kenangan lulus, ya tak apa 11 buku itu. Tapi selanjutnya, perlu kita sadari, mengerjakan buku asal-asalan dengan sungguh-sungguh, itu sama capeknya. Coba lakukan pengeditan yang sempurna, tataletak yang bagus, cover yang tidak belekan. Pokonya, punya nilai apresiatif,” kata Andang Segara.
Nada bicara Andang yang berapi-api, mengingatkan saya pada debur samudra, karena segar aitu adalah Samudra dalam Bahasa Sunda.
Nada bicara itu membuat kami merasa tertantang dan harus dibeli. Maksudnya, apa yang diinstruksikan Kepsek itu, memang sudah sejatinya bahwa menulis dan menerbitkan buku itu, bukan asal terbit dan ber-ISBN, dan apalagi hanya mengejar hal pragmatis seperti untuk kelengkapan pemberkasan kenaikan pangkat ASN, atau semata untuk pencitraan.
“Anda sebagai orang penerbitan, tentu tahu harus berbuat apa. Jangan perlihatkan hasil yang ecek-ecek dong!”
Betulkan ucapan Andang seperti ‘lambak di sagara’, seperti debur ombak di samudra? Amat memicu lagi memacu.
“Begini, saat saya masuk ke 24, saya survey lingkungan sekolah ini, dari lantai 1 hingga lantai 3. Cantik sih, tapi terlalu polos. Maksud saya, dinding-dinding sekolah kurang terhias. Nah Bu Neulis dan Bu Endang, kan bisa mengadakan lomba cipta puisi untuk siswa. Karya-karya terbaik nanti dicetak, diberi bingkai, di pajang pada dinding-dinding kosong itu, menjadi hiasan. Ini kita memasuki Kurikulum Merdeka Belajar. Nah, ekspresi positif karya siswa harus difasilitasi. Itu salah satu penjabaran kurikulum tersebut,” kata pemilik gelar doktor (DR) yang kini menjabat ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) untuk KCD VII, Cimahi dan Bandung, Disdik Jabar itu.
Andang yang malang melintang sebegai Kepsek SMAN di kota Bandung, tercatat ia pernah menjabat Kepala SMAN 15, SMAN 4, SMAN 9, SMAN 3, berharap siswa diberi koridor dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya dalam bentuk karya. Harapan ini sangat senada dengan motto SMAN 24 Bandung: We create our feature!
Motto SMAN 24 itu, mengingatkan saya pada sepenggal keterangan, yang termuat dalam Quran surat Yasin ayat 82, yang bunyinya: Kun fayakun! (Jadi, maka jadilah).
Apabila Tuhan menghendaki sesuatu, Ia tinggal berucap: Jadi, maka jadilah!
Bisa ditarik kesimpulan jelas dan tegas, bahwa penciptaan dimulai dari kata, kemudian menjelma puisi, filsafat, logika, imajinasi, dan akhirnya dari kata menjadi ilmu dan pengalaman praktis. Nah, maka sudah benar, jika siswa didorong untuk bisa menciptakan masa depannya, ia harus mulai bisa menciptakannya lewat kata, bahasa, puisi, imajinasi, filsafat, logika, dan akhirnya teori yang implementatif.
Doddi Ahmad Fauji, Dewan Redaksi jurdik.id
Woow keren…
Lanjut…biar tambah keren…
Alhamdulillah kang Dodi selalu konsisten dalam kegiatan literasi,. Semoga Dangiang Dewi Sartika 2022 bisa terlaksana kembali.