Antara Burung Garuda dan Pancasila

 

Antara Burung Garuda dan Pancasila

Panggilan video baru saja dimulai.
Kubuka percakapan tentang hari ini.

Apa yang bisa menggambarkan bulan Juni?
Kau menjawab dengan nama seorang penyair besar yang menulis puisi Hujan Bulan Juni.

Apalagi? Cecarku

Bapak proklamator, Pancasila dan Lingkungan Hidup.

Sebagai editor koran harian, tentu saja kau hapal semua tanggal, tentang perayaan-perayaannya, tentang hakikat dan juga pencetusnya.

Apa yang kau tahu tentang Pancasila?
Tanyaku lebih jauh.

Kau tetap tak mengalihkan mata dari layar laptop yang malih rupa menjadi kantormu, mendehem sebentar dan berkata, Garuda.

Kenapa hanya Garuda? Aku tak percaya dengan pendengaranku.

Ya, karena poster yang terpampang di dalam kelas sampai di ruang wakil rakyat maupun istana presiden hanya burung itu.

Namun, besarlah dulu, belajarlah lebih banyak. Kau masih terlalu kecil untuk membaca Marxisme maupun feminisme. Kau juga belum cukup umur untuk memilih menjadi agamis atau nasionalis.
Kau belum mengerti. Ketika kau besar, banyak hal yang kau pelajari. Ketika ia masuk di dalam logikamu, kau akan mempertahankannya. Namun ketika kau melihatnya sebagai sesuatu yang cacat kau akan mengubahnya. Tidak ada dasar negara yang bersifat abadi.

Kau lihat di dalam Pancasila ada bintang, ada kapas, ada padi, ada pohon beringin, ada rantai ada kepala banteng. Toh, simbol itu tetaplah simbol. Karena pada kenyataannya, tak ada Tuhan yang mereka takuti, tak ada manusia yang betul-betul beradab, tak ada persatuan kecuali secuil saja, tak ada rakyat yang mau dipimpin dan tak ada keadilan sosial bagi mereka yang tak kaya

Lalu kau terdiam dan percakapan terhenti. Kemudian jaringan terputus sebelum kita saling melempar senyum untuk terakhir kalinya.

Makassar, 1 Juni 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *