Kembalikan Tanah Ke Dalam Pangkuan Sila Ke-5 Pancasila

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Ada satu orang manusia, menguasai jutaan hectare tanah di Indonesia. Tapi ada jutaan manusia, bahkan tidak memiliki sejengkal tanah pun.

Mendengar pernyataan tersebut, terasa benar jiwa ini tersayat. Apalagi pernyataan tersebut disampaikan dalam peringatan hari lahirnya Pancasila, yang jatuh tiap tanggaal 1 Juni. Dalam Pancasila, sila kelima berbunyi ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Meski tanah dianggap benda mati, namun ia terikat dan mengikat dengan kehidupan sosial. Maka pernyataan di atas, sedang menjelaskan bahwa Pancasila yang sakti itu, baru sebatas ogutisasi alias pencitraan, baru sebatas jargon, namun faktanya, jauh panggang dari api.

Pernyataan ‘Ada satu orang menguasai jutaan tanah, tapi ada jutaan orang, bahkan tidak memiliki sejengkal tanah pun’, disampaikan oleh aktivis agraria dan pendidikan, Sapei Rusin, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jl. Garut Kota Bandung, pada 1 Juni 2022, bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila. Sapei yang lulusan 1999 dari Jurusan Planologi ITB itu, menuturkan hal tersebut berdasarkan data yang selama ini dipelajarinya.

Salah satu solusi untuk menjawab ketimpangan pembagian kue hasil pembangunan, menurut Sapei, adalah dengan reformasi di bidang agraria, di mana Indonesia yang memiliki tanah daratan mencapai 190 juta hectare, harus mulai direnungkan pembagian dan pemanfaatannya. Ada 114 juta hectare tanah, ternyata dikuasai oleh segilintir orang atau perusahaan besar, sementara sisanya, atau 76 juta hectare, dimiliki oleh mayoritas penduduk, termasuk di dalamnya lahan pertanian dan perkebunan, rumah dan gedung.

“Namun Reforma Agraria yang sudah dicanangkan sejak 196o, hingga sekarang tidak bisa berjalan,” kata Sapei Rusin, yang diminta menjadi pembahas buku Mending Edan daripada Kebagian Korupsi karya Gusjur Mahesa.

Bedah buku di Perpustakaan Ajip Rosidi itu, merupakan kelanjutan dari pengajian sastra yang secara periodik dan kontinyu, diselenggarakan oleh Majlis Sastra Bandung. Pada pengajian ke-125, sengaja dipilih buku Gusjur Mahesa yang merupakan serial kedua tentang korupsi, di mana serial pertama berjudul ‘Mending Gelo daripada Korupsi’. Rusin dipilih sebagai pembedah, sekalipun ia menyampaikan disclaimer bahwa dirinya bukan kritikus sastra, dan juga bukan sastrawan, namun panitia melihat, bahwa Sapei Rusin mampu memaparkan akar-akar korupsi di tanah air, muncul dari mana saja.

Sapei kemudian memaparkan, salah satu akar korupsi berangkat dari masalah pemanfataan tanah yang tidak merata.

Kenapa Reforma Agraria tidak berjalan?

“Karena Bank Dunia selalu berhasil membelokkan aktivitas yang mengarah pada reformasi agraria, dan selain itu, ‘revolusi’ wawasan dan sikap dari masyarakat Indonesia, yang belum terbentuk,” kata aktivis Perkumpulan Inisiatif itu.

Bila ditelusur dan dijelajah cerita mengenai agraria atau pertanahan di Indonesia, menurut Sapei, kita akan sangat mengurut dada. Pada jaman kolonialis, sekira tahun 1700-an, bahkan banyak desa di Kawasan Jawa pantey Utara, disewakan oleh Belanda kepada para orang kaya China.

“Bukan hanya tanahnya yang disewakan. Termasuk penduduk di dalamnya, itu merupakan buruh yang disewakan.”

Tanggal 1 Juni adalah hari di mana Pancasila dinyatakan lahir, karena pada tanggal tersebut, Bung Karno berpiado dalam sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan-Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang menggali weltanschaaung menjadi lima dasar Pancasila.

Menurut Sapei, yang dibahas dalam sidang BPUPKI itu bukan hanya asas dasar, tapi juga masalah agraria. Pembahasan Agraria dalam sidang BPUPKI belum tuntas, karena itu, pada tahun 1960 dikeluarkan UUPA 5/1960, untuk menuntaskannya.

Menjawab pertanyaan, kenapa UUPA 5/1962 tidak jalan, Sapei mengatakan, ‘diboikot’ oleh yang anti, tapi dengan menggunakan stigma gerakan pendudukan sepihak oleh PKI.

Sapei menambahkan, Reforma Agraria masuk menjadi salah satu dari Nawa Cita-nya Jokowi sejak periode pertama. Ada beberapa kerangka pikir yg kurang pas, dan dalam implementasinya tersendat-sendat. Bahkan bisa dikatakan, banyak tidak konsisten dengan pilihan kebijakan dan program lainnya.

Selain itu, apa yang menjadi hambatan, tanya saya?

“Sejak lama Bank Dunia banyak mempengaruhi belokan-belokan kebijakan dan program ini!” jawab Sapei.

Dan, bisa jadi langkah Bank Dunia makin elok, karena konsekuensi dari dampak membaranya semangat membangun mental kapitalisme-liberalistik-individualitsik-borjuistik, yang kini sedang menjadi de facto di Indonesia. Secara de jure, tanah dan air dan seluruh isinya, dikelola oleh negara, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Jelas sangat, yen de facto dan de jure tidak berjalan seiring.

Istilah kapitalisme, yang sering dinobatkan sebagai bahasa ekonomi dan politik, seringkali dinegasikan atau dilawankan dengan istilah komunisme. Maka kerap terdengar istilah pemerintahan kapitalis dan pemerintahan komunis. Mungkin di suatu hari, perlu ditelisik secara kebahasaan, benarkah istilah kapitalisme atau kapitalis, merupakan lawan dari istilah komunisme atau komunis?

Perbenturan istilah itupun sering digunakan oleh para pengamat politik, misalnya ketika mengomentari perang Rusia terhadap Ukraina, adalah karena Rusia yang komunis, tak mau diganggu oleh Blok Nato yang kapitalis, di mana Ukraina yang merupakan tetangga Rusia, sedang berusaha masuk menjadi anggota Nato.

Mungkin mayoritas muslimin di Indonesia, menolak komunisme, maka konsekuensi logisnya, kebalikan dari komunisme, yaitu kapitalisme, maka itulah yang melahirkan ironisme Pancasila” ada satu orang menguasai jutaan tanah, tapi ada jutaan orang, bahkan tidak memiliki sejengkal tanah pun.

 

(Bersambung)

3 komentar pada “Kembalikan Tanah Ke Dalam Pangkuan Sila Ke-5 Pancasila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *