Belenggu Kritisisme: Tantangan Kampus, Pers, dan Aktivis ProDem

Oleh Udo Z Karzi

“DEMOKRASI adalah sebuah utopia,” kata Thomas Hobbes beratus tahun lalu ketika demokrasi lebih tampil sebagai teori ketimbang realitas. Kesenjangan inilah membuat Hobbes “frustasi” dengan konsep-konsep indah makhluk  bernama demokrasi. Bisa dipahami bila filsuf ini begitu membenci demokrasi seperti Plato yang menganggap Socrates, gurunya, mati karena demokrasi.

Saat ini, demokrasi tetap menjadi ideologi idola berbagai negara. Amerika Serikat pun sempat bersombong diri sebagai negara paling demokratis dan merasa perlu mengajari semua negara tentang demokrasi. Tak terkecuali Indonesia.

Sebenarnya, Indonesia sejak awal kemerdekaannya, 1945, sudah meneguh semangat untuk membangun demokrasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat” berada situasi pasang surut berdemokrasi. Demokrasi kata kita, tetap kenyataannya sampai 1998, negara kita masih berada dalam cengkraman otoriterisme. Di bawah Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) dan Orde Baru (“Demokrasi Pancasila”), negeri ini masih jauh dari nilai-nilai demokrasi, meski semua latah meneriakkannya. Demokrasi Pancasila misalnya, hanya menjadi penghias bibir demi mengatakan demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Barat sembari mempertunjukkan kediktatoran.

Pada masa itu, semua saluran komunikasi politik (pers, legislatif, dsb) tersumbat. Aspirasi rakyat dikekang. Berbeda pendapat dilarang. Kebenaran hanya milik pemerintah. Boleh dibilang, penguasalah yang menentukan segalanya. Yang bisa mendefinisikan Demokrasi Pancasila pada waktu itu hanyalah pejabat negeri – dan kena itu yang boleh bicara dan mesti didengar adalah petinggi-petinggi.

Namun, Reformasi 1998 membawa Indonesia ke arah demokratisasi. Harus diakui, Presiden BJ Habibie meletakkan fondasi yang kuat bagi pelaksanaan demokrasi Indonesia pada masa selanjutnya. Ada beberapa indikator bagi kemajuan demokrasi di Indonesia saat ini dibanding masa Orde Baru. Pertama, kemerdekaan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, sistem multipartai yang terlihat sejak Pemilihan Umum 1999. Rakyat berkesempatan berserikat dan berkumpul sesuai ideologi dan aspirasi politiknya.

Dari sini, bisa juga dilihat demokrasi pada periode reformasi. Pertama, Pemilu lebih demokratis. Pemilu yang dilaksanakan jauh lebih demokratis dari sebelumnya. Sistem Pemilu terus berkembang memberikan jalan bagi rakyat untuk menggunakan hak politik dalam Pemilu.

Puncaknya pada 2004 rakyat bisa langsung memilih wakilnya di lembaga legislatif serta presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung. Pada 2005 kepala daerah pun (gubernur dan bupati atau walikota) dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah. Rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampai pada tingkat desa. Ketiga, pola rekrutmen politik terbuka. Rekrutmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Setiap warga negara yang mampu dan memenuhi syarat dapat menduduki jabatan politik tanpa diskriminasi. Keempat, hak-hak dasar warga negara terjamin. Sebagian besar hak dasar rakyat bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, dan sebagainya.

Pertanyaannya, apakah setelah 22 tahun Reformasi, demokrasi Indonesia mengalami penguatan atau pelemahan? Meskipun ada kecenderungan perbaikan situasi sosial-politik di negeri ini di satu sisi dan banyak masalah yang melilit penyelenggaraan demokrasi kita saat ini, tidak ada tanda-tanda mengarah ke penguatan demokrasi. Namun,  kalau dikatakan Indonesia kembali ke kondisi otoriter, karena secara objektif kondisi politik saat ini tidak mengarah ke sana. Kondisi politik kita lebih pas dilihat Fiman Noor tengah bergerak ke bentuk model post-democracy.[1]

Sembari mengutip Colin Crouch, Firman Noor menyebut beberapa kecenderungan inti post-democracy pada umumnya terjadi di Indonesia saat ini. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam dunia politik bersifat terbatas atau artifisial saja. Kedua, dalam situasi di atas, partai bukan lagi sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Ketiga, terdapat kecenderungan menggunakan cara-cara populisme dan artifisial (post-truth) dalam berpolitik. Keempat, hal ini beriringan dengan kecenderungan people ignorance. Dalam banyak momen politik, antusiasme berpolitik masyarakat menurun. Masyarakat juga pada umumnya tidak memahami duduk persoalan, hanya terpaku pada fenomena permukaan. Kelima, sebagai dampak dari itu semua, hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses, dan nilai demokrasi. Inilah yang menyebabkan pengelolaan partai menjadi jauh dari hakikat demokrasi. Begitu pula lembaga-lembaga negara telah menjadi “pelayan oligarki”.

Dalam ruang terbatas, tulisan ini hanya fokus pada masalah kritisisme dalam rezim kebebasan berpendapat. Lalu, bagaimana peran perguruan tinggi, pers, dan aktivis prodem dalam menjalankan sikap kritis dalam penyelenggaraan negara-bangsa demokrasi. Dan, terakhir bagaimana keluar dari kendala-kendala yang membelenggu kritisisme.

Kritisisme dan Demokrasi

Dalam KBBI, kritis berarti (1) bersifat tidak lekas percaya, (2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, (3) tajam dalam penganalisisan.[2] Kritisisme berasal dari kata “kritika” yang merupakan kata kerja dari “krinein” yang atinya  memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-mbedakan. Pengertian yang lebih lengkap adalah penetahuan yang memeriksa dengan teliti, apakah pengetahuan kita itu sesuai dengan realita dan bagaimanakah kesesuainya dengan kehidupan kita. Kritisisme juga diartikan sebagai pembelajaran yang menyelidiki batasan-batsan kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Pengertian-pengertian ini bersumber dari pemikiran Immanuel Kant (1724-1804).

Berpikir kritis berarti membakar kemauan untuk terus-menerus mengevaluasi argumen-argumen yang mengklaim diri benar. Seorang yang berpikir kritis tidak akan mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu dipersoalkan dan benar-benar diuji terlebih dahulu.[3]

Tanpa harus terjebak pada definisi-definisi tersebut, dalam konteks penyelenggaraan negara (demokrasi), kritisisme adalah sebuah upaya untuk melihat segala sesuatu secara lebih jernih, jujur, dan sesuai perangkat ilmu pengetahuan yang kita punya demi perbaikan jalannya negara dalam upaya mencapai tujuannya, semisal menyejahterakan rakyat (welfare state).

Dalam budaya demokrasi, menjadi penguasa (pemerintah, pemimpin) artinya mengambil konsekuensi untuk siap dikritisi. Sebab, dalam setiap inci kebijakan yang ditelurkan para pemimpin tetap harus berpegang pada prinsip falibilisme yang terus diterapkan demi memproduksi kebijakan yang bermutu. Kebijakan yang terus-menerus diuji akan bermuara pada keadilan. Sebaliknya, kebijakan yang absolut dan antikritik hanya akan diam, sesuai terminologi kata itu sendiri. Pemerintah seharusnya menuntut kritik untuk membantunya  menghasilkan kesejahteraan.

Fungsi kritisisme adalah upaya untuk mengubah atau mempengaruhi kebijakan negara. Kritisisme mengalir di dalam pembuluh darah demokrasi. Adanya kritik menandakan seseorang atau beberapa orang merasakan adanya injustice dalam suatu kebijakan. Itu yang harusnya yang pertama kali dilihat oleh si nakkhoda, yaitu kepanikan penumpang kapal. Dalam perspektif psikologi, orang yang keliwat panik biasanya sering mengumpat akan keadaan yang dialaminya, dan umpatan itu tentu tidak kita analisis secara harafiah apalagi sampai berakhir menjadi delik. Umpatan tersebut harus dilihat sebagai konsekuen atas suatu keadaan, yaitu adanya injustice. Dalam situasi seperti ini, seharusnya ABK fokus menyumpal kebocoran pada kapal, bukan malah sibuk menyumpal mulut si pengumpat. Demokrasi tidak akan pernah tumbuh dengan mulut yang tersumpal.

Krisis Kritisisme

Selain kaderisasi partai politik yang jelek, pemilu berbeaya tinggi akibat maraknya politik uang (money politics), buruknya fatsun politik warga, dan pelanggaran hak asasi manusia lama yang belum tuntas juga hingga sekarang; masalah yang krusial saat ini adalah hilangnya oposisi, maraknya berita bohong dan palsu, terganggunya kebebasan media, berkumpul, dan berserikat, mengemukanya intoleransi terhadap kelompok minoritas. Semua bermuara pada kondisi buruk jalannya demokrasi, yaitu hilangnya suara-suara kritis dari masyarakat sipil.

Parahnya hampir semua elemen masyarakat sipil, mulai dari LSM, kampus, mahasiswa hingga media merapat dengan dengan kekuasaan atau memilih diam untuk menghindari “tudingan” berpihak kepada kelompok yang anti-Pancasila dan antidemokrasi. Terlebih dalam tujuh tahun terakhir, terjadi polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara mengkritisi pemerintah segera saja dikelompokkan ke kubu antipemerintah. Situasi seperti ini, ketiadaannya suara kritis berbahaya bagi kesehatan demokrasi yang yang memerlukan kekuatan pengontrol kekuasaan.

Komposisi legislatif yang dikuasai partai politik pendukung pemerintah, sangat sulit mengharapkan mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan yang demokratis.  Masalahnya, berharap pada kekuatan lain seperti pers — yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksektif, dan yudikatif – juga sulit. Aktivis gerakan prodemokrasi pun tak terkecuali mengalami pelemahan.

Kampus adalah benteng moral, bukan sekadar tempat ilmu pengetahuan. Suara-suara kebenaran, kejujuran, dan tentu saja kritis semestinya datang dari sivitas akademika. Tapi, belakangan ada kecondongan warga kampus beramai-ramai mendekatkan diri, baik secara individu maupun secara kelembagaan kepada kekuasaan. Beberapa gejala dari memudarnya kritisisme di kampus ini di antaranya maraknya praktik kooptasi ikatan alumni dengan orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan melainkan lebih karena pertimbangan politik, absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk menentukan rektor terpilih melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Belum lagi, terdapat pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen, baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari kampus.

Di sisi lain, lemahnya internalisasi keadaban sipil (civic virtue) di antara warga negara sebagaimana tampak dalam perseteruan yang tajam, dangkal, dan kurang beradab antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Warga negara perlu belajar untuk berbeda pendapat atau pilihan politik sambil tetap berteman, bersahabat, dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa.

Maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan suku merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Perbedaan pilihan politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa saling percaya, toleransi, saling tolong menolong, dan saling menghargai perbedaan.

Ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pemberangusan buku, pencekalan diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwan dari luar yang melakukan penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan berekspresi.

Ada puka fenomena buzzer. Para buzzer seolah menjadi peran untuk menggiring opini publik untuk tidak mengkritisi kebijakan pemerintah. Selain itu juga melakukan pengeroyokan virtual kepada masyarakat yang melakukan kritik dan kontra terhadap kebijakan pemerintah. Tren serangan siber ini berlangsung hingga masa pandemi saat ini, yaitu pada saat serangan buzzer menyerang masyarakat digital yang mengkritik terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani krisis pandemi Covid-19 yang kemudian adanya serangan siber dengan kebiasaan buzzer menjungkirbalikkan logika, untuk membunuh kritisisme terhadap kebijakan pemerintah.

Kasus serangan siber misalnya, terjadi pada diskusi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 29 Mei 2020 yang menyoalkan terkait tema “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Sistem Ketatanegaraan”. Berdasarkan keterangan pers dari Fakultas Hukum UGM menyatakan bahwa kegiatan diskusi yang akan diselenggarakan merupakan diskusi akademik sebagai bentuk kebebasan akademik yang bertolak belakang dengan tuduhan pada buzzer yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan makar. Tidak sekedar menuduh sebagai kegiatan makar, namun juga adanya ancaman terhadap mahasiswa penyelenggara diskusi baik dengan cara diretas hingga aksi teror ancaman pembunuhan.

Dugaan melakukan ujaran kebencian terhadap dan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo melalui akun Facebook pribadinya, dianggap cukup bagi pejabat kampus untuk membebastugaskan dosen jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeru Semarang Sucipto Hadi Purnomo, Februari 2020. Sucipto tidak sendiri. Ada lagi beberapa dosen dan guru yang diberhentikan atau diberi peringatan/sanksi oleh kampusnya karena sikap kritis mereka.

Gambaran di atas menjadi cermin buram demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Hilangnya suara-suara kritis sangat buruk bagi keberlangsungan demokrasi kita. Kekuasaan minus oposisi, tanpa kekuatan penyeimbang, dan hilangnya kritisisme akan lebih mudah jatuh ke lubang otoritarian. Lord Acton sudah mengingatkan, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak).

Tidak boleh ada pembiaran kondisi demikian ini menjadi akut berlanjut dan berlarut-larut sehingga ‘penyakit kronis’ bagi demokrasi kita.  Tidak bisa tidak harus ada upaya mengingatkan perihal ini, tentang pentingnya kritisisme, menjaga kesehatan demokrasi kita dengan kontrol kekuasaan, serta mengupayakan negara-bangsa tetap  jalan yang benar demi terwujudnya suara masyarakat madani yang sejahtera. []

Kemiling, 4 Februari 2021

——————-
* Ditulis untuk buku antologi 76 penulis Demokrasi pada Era Digital (entah jadi terbit atau tidak)


[1] Firman Noor, “Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa Pandemi COVID-19” Pusat Penelitian Politik LIPI dalam http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1394-demokrasi-indonesia-dan-arah-perkembangannya-di-masa-pandemi-covid-19 (diakses tanggal 4 Februari 2021)

[2] KBBI Daring dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kritis (diakses tanggal 4 Februari 2021)

[3] Paulus Wahana. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016. hlm 27.

 

Karena isinya penting untuk publik, posting ini diperpanjang di sini, atas seijin penulis dan pengelola portal: labrak.co https://labrak.co/2021/09/belenggu-kritisisme-tantangan-kampus-pers-dan-aktivis-prodem/

SituSeni

Penerbit Buku dan Siber, serta menjalani kesanggaran dalam bidang tani dan ternak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *