Pendidik Harus Menguasai Ilmu Jurnalistik
Oleh Doddi Ahmad Fauji
Menjadi sangat penting di era sosmed yang kian merebak ini, para pendidik mempelajari ilmu jurnalistik. Banyak manfaatnya, dan bila dirinci, akan panjang daftarnya. Namun, dalam tulisan ini, dua poin saja yang akan diuraikan, yang bersifat resiprokal (sahut-menyahut).
Pertama, bila ‘rukun’ jurnalistik diterapkan, seseorang akan mempublikasikan tulisan, gambar, video, dan hal lain yang bisa dipublikasikan di media sosial, akan berpikir penuh kehati-hatian. Perlu disadari, yen media sosial macam facebook, IG, WAG, Twitter, dan lain-lain yang kian banyak jenisnya, adalah bagian dari media publikasi untuk sosial. Sebab media sosial makin merebak, mestinya warga juga belajar jurnalistik agar memahinya, mengingatnya, dan menjalankannya, agar para warga menjadi jurnalis yang dapat diandalkan untuk saling berbagi informasi, dan atau menguak fakta yang tertutup, dan atau mengkritisi hal-hal yang viral menurut akal waras.
Sekira tahun 2007, gerakan citizen journalism (jurnalisme warga) di Indonesia, masih menjadi cita-cita yang harus diwujudkan oleh para praktisi jurnalistik yang pro-rakyat. Di era sosmed, citizen journalism itu telah menjadi kenyataan yang kita hadapi.
Penyelenggara facebook dan sosmed lainnya, telah menyadari dari awal, yen kanal yang mereka dirikan untuk publik itu, akan menjadi sarana media, yang melibatkan warga dunia lintas batas negara, maka karena itu, mereka membuat seperangkat aturan yang tak boleh dilanggar. Bila melanggar, akan ditegur, atau postingan dihapus, dan atau tanpa minta ampun, akun akan dinonaktifkan. Karena itu, berhati-hatilah.
Mempublikasikan sesuatu, sadarilah selalu hal ini, amat erat kaitannya dengan Undang-Undang Pers, Undang-Undang ITE, dan sekian aturan lainnya, termasuk masalah SARA. Sudah banyak contoh, seseorang dijebloskan ke dalam penjara, karena memposting sesuatu yang melanggar undang-undang, dianggap menyudutkan orang lain, atau dinilai memfitnah penggugat. Ia digugat, lalu dijerat pasal-pasal terkait, dan jejak rekam dalam dunia digital, ternyata bisa dibuka oleh operator sosmed, meski sudah DIHAPUS oleh yang memposting. Karena itu, berhati-hatilah.
Ilmu jurnalistik, sejatinya mengingatkan kepada orang, agar sebelum memposting atau menge-share suatu informasi, ia mencerna dan memfilter-nya terlebih dahulu. Salah satu filter yang efektif dan paling ampuh saat ini, adalah rukun utama jurnalistik, serta kode etik dan prinsip jurnalistik. Rukun utama jurnalistik, adalah prinsip 5W+H (what, when, where, who, why, how). Sebuah postingan akan dinilai benar, bila di dalamnya mengandung unsur 5WH itu.
Lalu, kode etik jurnalistik dan prinsip jurnalistik, akan berguna untuk menambah bobot atau kualitas sebuah postingan. Masalah verifikasi, akurasi, coverboth side, balancing, dan lain-lain seperti yang dituturkan dalam buku 9 Elemen Jurnalisme karangan Bil Kovach dan Tom Rosenteil, akan membantu mencerdaskan bangsa ini, sebab warga disodori oleh informasi-informasi yang masuk akal, argumentatif, akurat, dan tiada lagi keraguan di dalamnya.
Nah, benar kan bermanfaat?
Lalu yang kedua, dari sisi pembaca, dengan menerapkan prinsip jurnalistik, sebuah informasi bisa disaring dan dinilai, apakah benar, atau tidak benar. Saat ini terus saja beredar di WA grup misalnya, sebuah iming-iming berhadiah, misalnya dengan mengatakan Perusahaan Soekarmadju ulang tahun, bagi-bagi hadiah, yuk segera buru. Share tulisannya itu segera diikuti link sebuah web. Begitu link itu diklik, ternyata kita ketipu. Pembajakan nomor WA juga merebak, salah satunya karena informasi yang simpang siur dan tidak mudah dipahami. Jadi, mari kita belajar jurnalistik.
Penipuan di sosmed oleh para predator, akan terus bertumbuh dengan modus operandi yang kian dicanggihkan oleh pelakunya. Dulu, para penipu banyak berdatangan dari luar negeri, melalui email, misalnya dengan mengaku orang Indonesia yang menikah dengan si A, mendapat warisan dengan angka yang menggiurkan, tapi harus ditransfer lewat rekening Indonesia, sedang dia tidak memilikinya. Bisakah membantu, dan membayarkan dulu ‘pajak’nya?
Makin canggih sarana sosmed, apalagi ketika dunia sedang memasuki alam liar yang bikin lieur, yaitu metaverse. Meta artinya kecil, verse bisa diartikan sebagai dunia. Jadi metaverse adalah ‘dunia kecil’, yang berdiri di-antara kenyataan dan hayalan. Metaverse, mata uang crypto, perdagangan lewat Non Fungible Token (NFT), adalah percanggihan sosmed konvernsional macam FB, IG, WA, twitter, dll. Di era sosmed saja penipuan sudah canggih, apalagi di era metaverse yang masih hayali namun sudah berjalan.
Dengan menilai sebuah postingan yang meragukan oleh rukun jurnalistik, setidaknya kita selaku penerima informasi itu, bisa lebih berwaspada.
Dan, jelang pemilihan jelangkung serta genderewo, sosmed sering dimanfaatkan oleh Kubu A lawan Kubu, hingga muncul mahluk lain, semisal kampret dan cebong. Dalam pertarungan pemilihan jelangkung itu, bertebaran informasi ogutisasi, yaitu membaik-baikkan si petarung jagoannya, serta informasi ugotisasi, yaitu menjelek-jelekkan petarung yang menjadi lawan.
Nah, para pendidik banyak juga yang kurang menyidik informasi, hingga akhirnya ikut terjerumus, atau terbawa arus sikut-sikutan. (Belum diedit)
Tulisan bergizi dan selalu menggelitik untuk terus mengajak belajar dan belajar