Hari Pahlawan di Makam Adipati Mrapat
Oleh Djadjat Sudradjat*
MEMPERINGATI Hari Pahlawan, saya memilih berziarah kubur ke makam pendiri Banyumas, R. Joko Kaiman. “Pesarean” ini berada di desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas. Sekitar 24 km dari Purwokerto ke arah Timur. Sebelumnya, saya menelepon Kades desa ini, Ruswanto, meminta izin. Ia pun berkoordinasi dengan juru kunci.
Dalam percakapan di kantor desa, Ruswanto mengungkapkan, Dawuhan yang berpenduduk 2.070 jiwa ini memang dikenal sebagai “desa makam”. Area pekuburannya amat luas untuk ukuran desa. Ia tak menyebut dengan angka pasti jumlah hektare-nya. Seraya tersenyum ia hanya menyebutkan area tanah untuk yang hidup sama luasnya dengan untuk yang mati.
Selain R. Joko Kaiman, para keluarga ‘wong agung’ Banyumas di masa lalu juga dikebumikan di sini. Ini sesungguhnya obyek wisata spiritual yang menarik. Khusus Makam R. Joko Kaiman dikelola Pemda Banyumas. Makam yang lain dikelola sebuah yayasan. Ini juga butuh kesinambungan yang serius. Agar makam tetap terawat dengan baik. Indah dipandang mata.
R. Joko Kaiman, ialah sosok pemberani dan rela berbagi. Terbukti ia membagi wilayahnya kepada para adik iparnya dengan adil. Padahal, ia yang berani menghadap Sultan Pajang dengan segala risiko. Para saudara iparnya takut. Ia juga pemimpin yang tak memperlakukan kekuasaan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk yang lain. Ia bisa menyikapi suksesi sang mertua tanpa perselisihan, apa lagi pertumpahan darah. Seperti kerap terjadi di banyak cerita sejarah. Ia bahkan rela membangun daerah baru –muasal Banyumas– yang tentu penuh perjuangan. Ia digerakkan oleh visi untuk masa depan, mendirikan Banyumas.
Para pemimpin politik di daerah, mestinya tak usah mencari teladan yang jauh. Nilai-nilai luhur dari para leluhur lokal perlu terus digali dan diteladani. Ziarah ke Pesarean R. Joko Kaiman, selain untuk mendoakan almarhum, juga secara emosional punya greget untuk meneladani nilai-nilai kebajikannya. Juga para leluhur yang lain. Para leluhur lokal sesungguhnya adalah perintis dan penyemai identitas setiap wilayah. Itulah keragaman Indonesia.
Kini kita kerap bicara “kearifan lokal”. R. Joko Kaiman adalah salah satu sumber kearifan lokal Banyumas yang amat penting. Tapi banyak anak-anak di Banyumas tak diberi pengetahuan soal ini. Dalam konteks otonomi daerah, justru nama-nama lokus penting, termasuk nama jalan, di banyak daerah, termasuk Banyumas, penuh dengan nama-nama nasional. Kenapa tak ada upaya untuk mengganti Jalan Gerilya, misalnya, dengan Jalan R. Joko Kaiman? Kenapa tidak ada Universitas Joko Kaiman? Kenapa tak ada Gedung Joko Kaiman? Lalu, apa artinya otonomi daerah kalau kita tak mandiri menentukan diri sendiri? Diri Banyumas?
Adipati Mrapat
Djoko Kaiman, anak Raden Harja Banjaksasra, Adipati Pasir Luhur. Sejak kecil ia diasuh orang tua angkat, Kiai dan Nyai Mranggi di Kejawar. Setelah dewasa ia mengabdi (“ngenger”) pada keluarga Adipati Wirasaba, Adipati Warga Utama II. Karena budi baik dan kecakapannya, ia pun dipilih menantu oleh Adipati Wirasaba itu. Ia dinikahkan dengan putri sulung sang Adipati, Rara Kartimah.
Dalam buku “Babad Banyumas” versi Wiraatmadja, diceritakan ketika Sultan Pajang mengundang keluarga Adipati Wirasaba untuk menghadap, tak ada yang berani melakukannya. Mereka masih dalam ketakutan setelah ayah mereka dibunuh penguasa Pajang — karena berita hoaks dari demang Toyareka. Justru yang tak gentar adalah R. Joko Kaiman itu, yang statusnya sebagai menantu.
“Amoeng satunggaling kang sagah sowan dateng Padjang, inggih punika poetra mantoenipoen Ki Dipati, anakipoen Ki Meranggi Semoe dari desa Kedjawar”. (Hanya seorang yang menyatakan siap menghadap ke Pajang, yaitu menantu sang Adipati, anak Kyai Mranggi Semu dari Desa Kejawar.” Yang dimaksud menantu sang Adipati, ya R. Joko Kaiman itu.
Tanpa diduga, setelah sampai Pajang, Sultan Hadiwijaya, justru melantik Joko Kaiman sebagai Adipati Wirasaba. Tentu setelah dinilai kelayakannya. Sebagai penebus dosa karena membunuh mertua Joko Kaiman tanpa informasi yang benar, Sultan Pajang pun memberi gelarJoko Kaiman Warga Utama II. Gelar yang sama disandang ayah mertuanya.
Sepulang dari Pajang, ia membagi daerah kekuasaannya menjadi empat wilayah kepada para adik iparnya. Wirayudo mendapat wilayah Banjar Pertambakan, Wirakusumo mendapat wilayah Merden, Wargawijoyo mendapat wilayah Wirasaba.
R. Joko Kaiman sendiri memilih membangun wilayah baru di desa Kejawar, sebelah selatan sungai Serayu. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Banyumas. Ia memilih “trukah” daripada berdiam di wilayah nyaman di Wirasaba. Nama Wirasaba kini hanya menjadi nama desa di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga. R. Joko Kaiman pun diberi sebutan Adipati Mrapat, karena kerelaannya membagi wilayah menjadi empat wilayah.
Jika kata pahlawan berarti “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran”, R. Joko Kaiman jelas masuk kategori ini. Dan kami menziarahi makamnya untuk mengingatkan bahwa keteladanan itu harus terus dikabarkan, dihidupkan, dan dipraktikkan dalam kehidupan. ***
Djadjat Sudradjat, wartawan non-aktif, kini Anggota DPRD Kabupaten Banyumas, dan menjabat Ketua DPD Partai Nasdem Kab. Banyumas.
Foto dan tulisan ini diambil dari FB penulis, atas seijizin penulis. Redaksi jurdik.id menayangkannya, karena muatan dalam tulisan, terasa kontekstual dengan kondisi bangsa kita saat ini.