Surat Dari Tegal

RSUD Kardinah dan Ironi Revolusi

Oleh Djadjat Sudradjat

Kredit Foto: Djt
Di samping patung Kardinah, RSUD Kardinah Tegal

SUDAH lama saya ingin melihat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kardinah Tegal, tapi baru kali ini (Nopember 2021) terlaksana. Di tengah acara di kota ini, saya menyempatkan diri ke rumah sakit, yang ketika pagebluk mengganas, ditunjuk sebagai RS khusus menangani Covid-19.

RSUD Kardinah kini juga memiliki laboratorium PCR (polimerase chain reaction) dan tentu bisa melayani masyarakat umum. Rumah Sakit tipe C yang mengambil nama adik RA Kartini yang terletak di Jalan KS Tubun No.2 Kota Tegal, menggoda saya karena beberapa hal.

Pertama, rumah sakit ini didirikan Kardinah pada 1927 dari uang royalti menulis buku masakan dan batik, dengan modal awal 16.000 Gulden. Semula RS ini bernama Kardinah Ziekenhuis. Saya membayangkan royalti menulis buku di masa Hindia Belanda pasti cukup tinggi. Kalau kecil mana bisa untuk modal mendirikan rumah sakit? Saya kira ini muskil terjadi di masa sekarang.

Kedua, RA Kardinah bersama RA Kartini, dan adiknya, Roekmini –disebut “Tiga Serangkai” juga “Tiga Daun Semanggi”– ikut menulis surat yang terhimpun dalam buku “Kartini” (Surat-Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno (1989) dari bahasa Belanda. Dari 150 surat, Kardinah menulis tujuh surat. Tentu yang terbanyak Kartini yakni 108 surat. Terbanyak kedua Roekmini, 29 surat. Selebihnya Kartinah tiga, Soematri, ayah, dan suami Kartini masing-masing satu surat.

Meski hanya tujuh surat –yang ditulis dalam bahasa Belanda itu– membuktikan Kartini dan adik-adiknya bacaannya sangat luas dan kepeduliaan pada kesetaraan, pendidikan, dan kemandirian perempuan sangat tinggi. Kardinah dan Roekmini sama-sama mengekspresikan dan mengadukan deritanya ketika hendak dikawinkan dengan calon suami yang sudah punya beberapa anak kepada “Ibunda Belanda” itu. Nyonya Abendanon. Sama seperti Kartini, ia mau menanggung derita semata-mata demi cintanya pada sang ayah.

Ketiga, sang pendiri rumah sakit menerima perlakuan buruk, justru oleh rakyat yang diperpjuangkan nasibnya. Agaknya inilah episode ironi dalam revolusi kemerdekaan kita yang “heroik” dan bergemuruh.

Sejak 1908 RA Kardinah menetap di Tegal –empat tahun setelah RA Kartni, sang kakak, meninggal– mengikuti tugas sang suami, RM Rekso Harjono, yang menjadi Bupati Tegal hingga 1930. Kardinah terus bergiat di lapangan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ia membangun Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowi di Tegal dan aktif membantu sekolah-sekolah Kartini di berbagai kota di Pulau Jawa; aktif menghimpun dana dan menjaring siswa agar masuk ke Sekolah Dokter Jawa atau populer disebut Stovia. Cita-citanya bersekolah tinggi terbelenggu adat, namun ia tak patah arang. Bersama saudaranya, justru ia salurkan untuk mendidik orang lain, masyarakat.

Sejak kecil, Kardinah memang mempunyai cita-cita mendirikan rumah sakit umum. Ini karena ia kerap melihat ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan. Dalam salah satu suratnya ia menulis, apabila ia sebagai bangsawan sakit, berbaring di tempat tidur dan selimut serta obatnya dari dokter. Sedangkan jika pelayan yang sakit, hanya berada di balai-balai. Obatnya sekehendak sendiri, selimutnya seadanya. Ia tak tega.

Setelah sang suami tak lagi menjadi bupati, Kardinah pindah ke Klaten. Bulan Oktober 1945, Kardinah berada di Tegal bersama anak-mantu dan juga cucunya. Ketika itu pula “Revolusi Tiga Daerah,” (Tegal, Brebes, dan Pekalongan) pecah. Kaum bangsawan menjadi sasaran.

Massa rakyat yang marah, mencari RM Rekso Sunarjo, Bupati Tegal, yang juga menantu Kardinah. Tak ditemukan. Rumahnya diobrak-abrik. Kardinah, putrinya (istri bupati), cucu, dan pembantunya jadi sasaran. Mereka jadi bulan-bulanan. Mereka diberi pakaian goni dan diarak keliling kota dan berhenti di depan rumah sakit yang didirikan Kardinah. Cintanya pada wong alit justru mendapat “balasan” menyedihkan. Air susu dibalas air tuba. Jiwanya terguncang.

(Kisah lebih lengkap tentang Kardinah bisa dibaca dalam buku biografi “Kardinah” yang ditulis Yono Daryono. Sayang, saya belum membaca buku ini).

Perempuan kelahiran Jepara 1 Maret 1881 ini wafat pada 5 Juli1971 (90 tahun). Ia telah mendapat rupa-rupa penghargaan. Perjuangannya untuk rakyat kecil dihinakan pula oleh rakyat yang marah. Revolusi selain untuk menjaga persatuan dan kemerdekaan memang punya banyak anomali dan tragisnya sendiri.***

Djadjat Sudradjat adalah Anggota DPRD Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Mantan Pemimpin Redaksi Lampung Pos, Dewan Redaksi Media Indonesia grup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *