Pelukan Terakhir Ayang

Oleh Faudzil Adhiem

 

Dan Tumbuh-tumbuhan, dan pohon-pohonan; kedua-duanya tunduk kepada-Nya.

Q.s. Ar-Arrahman ayat 6.

 

Jam empat sore kemarin, Ayang, terpaksa meninggalkan kamar dengan rasa curiga yang amat. Ia__ Ayang __  terlalu kencang menutup pintu, hingga menimbulkan kekagetan pada kedua lelaki yang sedang menanti.

Dilihatnya, di gigir Pak RW, lelaki separuh abad dengan kepala berkopeah hitam duduk sembari memainkan asap rokok, yang membikin rasa curiga Ayang bak air mendidih. Saat pantatnya baru saja duduk di empuknya kursi, dugaannya menjadi kebenaran tanpa sangsi: “Alangkah lebih baiknya bila pohon mangga itu ditebang, Yang, ” kata Lelaki separuh abad berkopeah hitam, memulai pembicaraan.

“Ya, betul. Orang-orang sekampung risih melihat gelagat kau. Maaf, maaf sekali. Katanya, kau seperti orang gila.” Pak RW menimpali.

Ayang belum memberi tanggapan, hanya menggigit bibir, dan jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk paha, juga sesekali menekannya amat kuat. Sebetulnya, di dalam hatinya sebuah itikad hendak melemparkan gelas kopi kepada Pak RW, dan lelaki separuh abad berkopeah hitam muncul. Seandainya, Pak RW itu bukan bapaknya. Entah akan bagaimana sore itu jadinya.

“Begitulah, Yang. Lagi pula perlakuanmu terhadap pohon mangga itu berlebihan. Untuk apa pohon dipakaikan kain hitam?” Ujar lelaki separuh abad berkopeah hitam, “Bagi warga, kau seperti sedang munjung (berkaitan dengan klenik). Tak elak itu adalah perlakuan yang berlebihan, dan bertolak belakang dengan contoh Rasulullah dan Qur’an,” Ucapnya lagi.

Serupa bensin dikasih api, Ayang menyala:”Pak, Haji. Apakah membakar hutan Larang Guriang, dicontohkan Rasulullah? Pak Haji, apakah pohon-pohon itu bukan ciptaan Tuhan? Anda itu bernafas dengan asap dan debu, ya?!”

Keduanya membatu, dan Ayang mengambil jalannya pembicaraan. Ia terus nyerocos:

Kepada Bapaknya, Ayang mengingatkan kembali asal-usul angga, yang ditanam ibunya ketika Ia terlahir ke dunia. Lalu, menanyakan pada ingatan bapaknya perihal itu. Bapaknya menyela dan memerintahkan Ayang untuk melupakan semuanya; Mamah dan cerita konyolnya. Tetapi, Ayang tak membiarkan ceritanya usai: setelah seminggu kala saya keluar dari rahim Mamah, Mamah menanam angga di halaman rumah, sebagai bentuk merawat tradisi keluarga dan nenek moyang Mamah yang menanam satu pohon ketika lahiran. Nahasnya, belum juga Ayang selesai bercerita, Pak Haji memotongnya; “Siapakah angga?” dan memang, beberapa kulit jidatnya sedari tadi telah membentuk tiga kerutan ketika mendengar kata angga.

“Angga itu nama sayang saya dan Mamah kepada pohon mangga di halaman rumah kami, Pak,” Jawabnya.

Izinkan saya untuk merampungkan ceritanya, sebab penting buat Bapak dan Pak Haji untuk menahu asal-usul angga, dan mengapa saya memperlakukannya sangat baik. Setelah saya selesai bercerita, Bapak, dan Pak Haji boleh berbicara sepuasnya. Usia saya sudah 18 tahun. Saya bukan anak kecil lagi. Jadi, mohon. Dengarkan sampai tuntas.

Mulanya, Mamah memerintahkan Bapaklah yang menanam pohon angga, tetapi Bapak menolaknya dengan dalih kurang kerjaan. Bapak, pasti lupa, kan? Kata Mamah, itu hari pertama setelah saya dilahirkan. Karena Mamah tak kuat berjalan dan masih lemas dikuras lahiran, butuh waktu seminggu untuk bisa menanam pohon itu, dan ketika Mamah berhasil menanam pohon angga, Bapak hanya geleng-geleng kepala.

Pagi, siang, sore, berjalan, hingga Pohon angga dan saya tumbuh memasuki usia sepuluh tahun. Bapak pasti lupakan? Memang benar, orang tambah usia, tambah pelupa, Pak. Di bawah pohon angga, Mamah menyuruh Bapak untuk membikin kursi dari bambu, agar kami bisa mengaso. Coba pak Haji tebak, apakah Bapak saya mau? Tentu tidak Pak haji.  Karena Bapak tak mau, Mamah memerintahkan Mang Odod untuk membuatnya. Setelah jadi, kami: Mamah dan Saya, walau tidak setiap sore, akan bersantai di bawah pohon angga, dan tak jarang, Mamah cari kutu di sela-sela rambut saya sembari menyanyikan tembang, kidung-kidung pujian, dan menasehati saya:”Nak, jagalah angga apapun yang terjadi. Sayangi ia sebagaimana Mamah menyayangimu.” Ya. Itulah pertamakali Mamah mengucapkan mangga dengan kata Angga.

Maaf… Pak Haji, bila cerita saya meloncat-loncat, sebab butuh waktu empat hari untuk menceritakannya secara detail. Sekarang, saya hanya menceritakan, yang kiranya menurut hemat saya penting. Pak Haji, dan Bapak tak usah khawatir. Saya suka membaca, jadi saya punya kemampuan buat bercerita.

Saya ingat: tiga tahun yang lalu, pada  malam jum’at kliwon, Mamah menangis di bawah pohon angga, setelah cekcok dengan Bapak. Bapak masa lupa lagi? Ituloh, pas Mamah hendak memasang kain hitam di batang pohon angga. Masa iya, bapak lupa? Itu ih setelah Bapak menjadikan angga sebagai tempat memasangkan baliho kades no 1. Ingat, kan? (Tentunya, Pak Haji! Dari tahun kesepuluh dan 15 umur saya, Mamah dan Bapak sering cekcok karena angga). Saya menghampiri Mamah, dan memeluknya. Memang, pada awalnya, saya juga heran dengan sikap Mamah kepada angga, tetapi setelah penjelasan demi penjelasan yang Mamah berikan, saya tahu, bahwa Mamah menyayangi pohon itu, sebagaimana Mamah menyayangi saya.

“Kalau tubuhmu dipaku, bagaimana rasanya, Nak?” Tanya Mamah

“Sakit, Mah”

“Angga pun begitu” ucap Mamah,” Pohon memfasilitasi kita udara, menyerap seluruh polusi, dan turut menjaga bumi kita. Pohon adalah makhluk, dan kita mesti berlaku baik kepadanya, Nak,” ujar Mamah. Kami pun berpelukan seperti teletubis, tetapi bercerai kembali ketika Bapak keluar dari rumah, dan telunjuknya menunjuk-nunjuk Mamah. Saya masih ingat, Pak. Ucapan Bapak waktu itu, “Jangan jejali anak kita dengan pikiran konyolmu itu!” bukan begitu kan, Pak? Lalu saya diseret masuk ke dalam rumah, dan dikunci di kamar. Sementara itu, telinga saya terus mendengar suara gelas, piring pecah, serta kata-kata menjijikan. Kejadian itu pula awalmula dahan-dahan angga dipangkas, dan Mamah menjadi pemurung, dan kehilangan gairah. Mamah menjadi jarang memasak, mencuci, tertawa. Lebih lama berdiam di kamar, dan meyebabkan saya ingin memotong telinga, sebab piring, jendela, gelas, dan kata-kata semuanya pecah.

Saya tahu, bahwa Mamah benar, karenanya saya selalu membersamai Mamah, dan mendengar seluruh pesan, wejangan, hingga wasiatnya yang menggaduhkan Bapak: Ingin di kubur di dekat pohon angga. Selain wasiat ingin dikubur di pohon Angga, Mamah mengatakan bahwa apabila hari lahirnya itu hari Jum’at, secara pengetahuan orang tua dahulu, matinya akan pada hari sabtu atawa minggu. Mamah juga menjelaskan, mengapa ia ingin di kubur di pohon angga? Karena ketika ia jadi bangkai, Mamah akan menjadi makanan buat angga, dan itu tandanya juga, Mamah akan menyatu dengan angga, dan terus hidup. Ingat, Nak. Khusus buat kamu. Kamu mesti menjaga angga, sebab Mamah menyayangi angga sebagaimana menyayangimu, Nak. Katanya.

Setelah Mamah meninggal pada Sabtu sore. (O, Allah mengapa sih, Mah mesti pergi duluan? O, Allah. Heppp, saya kuat). Memang, Bapak menangis dan menyesali segala perbuatan tak mengenakkannya kepada Mamah selama hidup. Maaf, nih Pak. Bukan apa-apa, ya. Menurut saya, itu adalah palsu. Maaf, Pak. Sekali lagi. Saya memang harus berkata begini. Sebab, sampai usia saya kini memasuki angka delapan belas, Bapak tidak tahu apakah anaknya sedang mempunyai masalah, sakit hati, dan bahagia. Bapak pun seolah tak sayang saya. Terlebih ketika bapak berencana kawin dengan janda anak dua itu, mesti pada akhirnya gagal. Seorang Gadis remaja yang tak punya Mamah, butuh tempat, dan  semestinya Bapak bisa dan kudu jadi sosok Mamah. Maaf, Pak Haji, saya jadi curhat. Tetapi begitulah, kenyataan adalah kebenaran yang nyata.

Saya hanya ingat Mamah, dan wasiatnya, bahwa Angga adalah bagian dari Mamah. Maka, semestinya Bapak tak perlu heran dan marah, ketika pada jam 07.00 malam, saya lupa tahunnya yang jelas sudah menjadi RW dan ikut andil menebang, dan membakar hutan larang Guriang, yang menurut Mamah hutan itu merupakan hutan sakral. Serta ikut andil juga menambang. Ya, ketika saya duduk di kursi bambu, memeluk angga, dan tiba-tiba Bapak datang, langsung memarahi, mengutuki saya dan menyalahkan Mamah, padahal ia sudah di sorga. Tanpa pernah menanyai sebab saya memeluknya, masalah apa yang sedang menimpa gadis remaja ini. Pak, dada saya seperti ditusuk seribu jarum, ketika saya diseret dari kursi bambu, dimarahi di ruang tamu, dan dikunci di kamar sendirian dengan menyimpan masalah yang tak terucapkan. Seharusnya Bapak yang jadi telinga, tetapi yang ada hanya angga.

Karena Bapak tidak bisa menjadi damai bagi saya, setiap kali saya punya masalah, angga adalah tempat curhat saya. Karena itu pulalah saya memasang kain hitam di malam gulita, untuk memperlakukan angga sebagaimana seorang teman, dan bukankah mamah bilang ia hidup bersama angga? Hingga suatu pagi Bapak pun memarahi saya dan mencopot kain hitamnya, tetapi saya terus memasangnya. Kejadian seperti itu berulang-ulang hingga 17 kali dan akhirnya Bapak menyerah dan membolehkan saya memasang kain hitam di batang angga.

Sebagai Gadis remaja yang mempunyai perlakukan baik kepada pohon, teman-teman enggan berkawan, hingga saya merasa asing dengan dunia, dan hanya angga satu-satunya teman, Bapak, Mamah, guru, hidupku, dan segalanya. Sebab itu pula, terlintas dalam pikiran saya, sikap kagok edan. Secara terang-terangan pada siang hari saya memeluk angga, meskipun para tetangga yang sedang merumpi meneriaki saya gila. Berita tentang perlakuan baik saya kepada pohon tersebar, dari mulut ke mulut,  kebun-kebun teh, pangkalan ojek, ruang kantor guru dan kepala sekolah, serta dinding toilet masjid yang menuliskan bahwa saya telah gila. Saya tidak mengerti, mengapa perlakuan baik saya dinggap gila, klenik, bahkan hingga dipanggil ke ruang BK, dan diperintahkan untuk berhenti bersikap baik kepada pohon, padahal setelah jasad mamah pergi, hanya angga yang hadir di samping saya. Sempat, sempat pak haji. Saya berpikir, untuk keluar sekolah. Sebab buat apa sekolah? Bila muridnya, tidak boleh memeluk pohon? Sampai-sampai pada sore ini pun Pak haji dan bapak mengatakan ingin menebang Angga. Kalian ini kenapa? Apa salah angga?

Karena keduanya terdiam agak lama, Ayang meninggalkan keduanya, dan kembali ke kamar. Kedua lelaki itu, kembali terkaget-kaget, ketika pintu kamar terbentur.

Di bawah bantal, ia menangis, meskipun perasaan lega dan terbebas dari tekanan batin yang mengendap telah pergi. Ia tahu sekarang, masalah selalu timbul-tenggelam sepanjang nyawa masih ada.

 

***

Pagi sekali. Pak Haji, Bapaknya, dan beberapa Mamang-mamang sudah berkumpul di teras rumah. Ayang merasa aneh, dan terheran-haran bahwa ceritanya kemarin tidak membuat mereka luluh dan mengurungkan niat buruknya. Karena sudah bertekad tidak akan pergi ke luar rumah. Maka, tatkala Bapaknya mengetuk pintu kamarnya, dan memberitahukan bahwa Mang Komo, si tukang ojek langganannya sudah tiba, Ayang teriak:”Saya tak akan sekolah, sedang sakit.”

Bapaknya pun sudah tahu, bahwa itu alibi semata. Keduanya terlibat cekcok hebat di balik pintu. Ayang menjerit, ketika pintu kamar berhasil didobrak, dan itu membikin Pak Haji berlari lalu masuk ke rumah, dan melerainya.

“Wo, Berilah kesempatan terakhir untuk anakmu, Wo. Ini salahmu juga. Perbaikilah hubungan kalian mulai hari ini. Ayolah!”  Pak Haji memberi petuah, dan berhasil meluluhkan Bapak Ayang.

“Yang, fahamilah bahwa Bapakmu adalah pejabat. Dan, kami sudah menerima uang dari perusahaan tambang, buat memperlebar jalan di halaman rumah kalian. Jadi mau atau tidak, pohon manggamu, si anggamu mesti ditebang! Ini juga demi kebaikan dan kepentingan bersama. Aku yakin Mamahmu juga akan senang hati menebangnya. Sebetulnya, ini yang kemarin hendak kami bicarakan, tetapi, eh. kau malah pergi, dan mungkin tadi malam bapakmu tak kuasa mengatakannya.”

“ Tahu apa kalian tentang pohon? Tentang Angga? Tentang Mamah? Tambang dan duit yang kalian tahu, tuh!? Pak! Pak! Kuburan Mamah akan bagaimana? Pak! Saya akan menjaganya apapapun alasan dan rintangannya.”

 

Tidak berapa lama dari itu, mesin gergaji meraung-raung. Ayang pun berlari, dan sempat Bapaknya berhasil menangkapnya, tapi sayangnya lolos. Ayang memeluk pohon mangganya, dan terus mengeluarkan kata jangan, bangsat, dan lainnya. Melihat itu, Pak RW yang Bapaknya  menyuruh si tukang agar tetap menebangnya, sebab Pak Rw yang Bapaknya berpikiran bahwa Ayang pasti akan pergi. Tetapi, Bapak dan anak itu sama-sama teguh pendirian. Tak ada yang mau mengalah dan menang. Tukang gergaji pun kebingungan, dan mematikan mesinnya.

Percekcokan hebat anatara Pak RW yang Bapaknya  dengan Ayang terjadi lagi, dan mengundang para tetangga merapat ke halaman rumah mereka. Kesabaran Bapaknya sudah habis, Ayang diseret untuk menjauhi pohon mangganya. Tangis Ayang meledak, para tetangga berkomentar, gergaji mesin meraung dan pohon mangga perlahan digergaji, lalu brukkkk: angga telah rebah.

 

2022

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Faudzil Adhiem

Faudzil Adhiem (2001) lahir di Bandung 15 Juli. Wartawan portalNusa dan sedang menempuh pendidikan di IKIP Siliwangi Cimahi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

One thought on “Pelukan Terakhir Ayang

  • Juni 9, 2022 pada 4:29 pm
    Permalink

    Ditunggu episode selanjutnya

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *