SURAT DARI KING’S PARK (3)
MENJEGAL DIRJEN
Oleh Doddi Ahmad Fauji
NAH, sekarang saya jadi pegang uang USD200. Yang USD100-nya lagi, dikasih oleh Ceu Popong Otje Djundjunan, anggota DPR RI dari partey pohon beringin. Yang mengasihkan tentu bukan Ceu Popong.
Yoyo juga pegang uang USD200. Yang USD100, dikasih oleh senior kami yang murah hati, Kang H. Taufik Faturohman, sedang USD100 lagi, dikasih oleh Ray Sahetapy dari Studio Oncor, Jakarta.
Tak ada obrolan lain lagi dengan Pak Saini. Beliau harus segera masuk gedung, sedang saya langsung mampret mencari bus kota, untuk pulang ke rumah saudara di kampung Melayu, yang menjadi tempat persinggahan selama di Jakarta, guna mempermudah urusan keperluan pergi ke luar negeri yang diimpikan.
Saya sampai di Departemen P&K sekira pukul 10.00 WIB. Namun ternyata kantor Pak Endang tidak berada di gedung yang sama. Dan, saya pun berusaha mencarinya, dengan kepusingan harus nanya ke sana ke mari. Saya sampai sekira pukul 11.00. Saya diterima oleh staf, namun tentu dengan pertanyaan formal, ada urusan apa, apa sudah ada janji dengan Bapak, dll.
Saya sampaikan, mau meneruskan surat dari Pak Saini KM, Direktur Kesenian, untuk Bapak Dirjen Fasilitasi Pendidikan. Tapi surat itu harus saya sampaikan langsung.
“Kalau belum ada janji, akan sulit bertemu Bapak. Bapaknya juga sedang rapat!” kata Staf.
Lemas tubuh saya, karena kemungkinan tidak akan bisa bertemu dengan Pak Endang, yang sangat saya harapkan dapat membantu kami memuluskan perjalanan dari Jakarta menuju Kota Perth, dan dari Perth akan meneruskan perjalan ke Melbourne, untuk kemudian berlanjut ke Wolongong University. Nah, karena di Perth akan sampai malam hari, kami harus singgah dan menginap dulu. Kami butuh tempat menginap, dan butuh guide yang bisa membantu.
Di ruangan Pak Dirjen itu, akhirnya saya duduk di sofa tempat tamu menunggu. Mungkin karena lelah dan letih batin, saya tertidur di sofa empuk, di ruangan yang ber-AC. Ada yang terasa menyentuh tubuh, dan membuat saya terbangun. Rupanya sang Staf membangunkan saya.
“Rapatnya sudah selesai. Bapak sedang menuju ke mari.” kata staf.
Staf itu pastinya, tak ingin melihat ada orang tertidur di kantor Dirjen, saat Dirjen masuk ruangan, makanya saya dibangunkan.
Saya bangun dan memburu ke luar ruangan, ke lorong di antara barisan kantor-kantor para pejabat. Saya menunggu di depan pintu masuk ke ruangan kantor Dirjen. Rupanya ruangan rapat juga satu barisan di labirin ini.
Intuisi saya menebak, bapak yang berjalan paling depan, ditemani mengobrol oleh seseorang, adalah Dirjen yang dimaksud. Beberapa peserta rapat lainnya, berjalan di belakangnya.
Benar saja, bapak itu mau masuk ke lobby ruangannya. Dan, saya menjegalnya.
“Ini Pak Endang?”
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, saya langsung memperkenalkan diri, dan bermaksud menyampaikan surat penting dari Direktur Kesenian. Orang-orang yang berjalan di belakang Dirjen, tampak kaget juga melihat saya ujug-ujug nyelonong.
Keberanian nyelonong ini, mungkin sudah intuisi, dan juga terjadi di Bandung saat melihat Pak Habibie yang menjabat Menristek dan Kepala BPPT, juga dalam urusan rencana ikut festival teater kampus di Wolongong University. Nanti di depan, saya akan ceritakan pengalaman dua kali nyelonong ke Pak Habibie. Yang pertama, saat almarhum masih menjabat Menristek, dan yang kedua, lebih istimewa lagi, saat beliau menjabat Presiden RI ke-3.
“Ade siapa?” tanya Pak Endang.
Karena melihat saya yang berapi-api, meski berbadan kurus dan tampak kucel, ada rasa kasih dari seorang Dirjen, hingga ia mengajak saya masuk ke ruangannya. Saya dipersilahkan duduk pada kursi di hadapan meja kerjanya, dan Dirjen duduk di kursi kebesarannya.
Saya melihat emblem nama pada baju safari yang dikenakannya. Tertulis Edang Sunarya (tapi mohon maaf bila ternyata Endang Suryana, atau malah Endang Suyatna). Saya mencari nama Dirjen ini di internet, tapi belum menemukannya saat memoir ini dituliskan.
Saya menyodorkan surat dari Pak Saini KM, dan beliau membacanya.
Selesai membaca, ia menatapku dengan matanya yang curinghak, dan membuat saya jadi gugup.
“Jadi Anda mau merepotkan orang Indonesia di Ostrali?”
Karena namanya sangat Sunda, dan juga intonansi bicaranya ada aksen Sunda, ia juga menyebut Ostralia dan bukan Australia, maka saya langsung bicara dengan Bahasa Sunda.
Dirjen yang nantinya menerangkan berasal dari Garut itu, nada bicaranya mulai melunak. Mungkin ini sisi positif dari primordialisme. Sentimen sesama etnis, bisa mempermudah persoalan. Tapi, kadang sentimen etnis ini dijadikan pintu untuk memasuki gerbang nepotisme.
“Kapan Anda berangkat?”
“Hari ini, Pak. Jam 6 pesawat akan berangkat.”
“Dari sini Anda lansung ke Bandara?”
“Tidak Pak, saya ke Kampung Melayu dulu, membawa barang, lalu pergi ke Bandara.”
Dirjen melihat jam tangan, dan mengatakan, “Jakarta itu macet, moal keburu. Mending dtangguhkan keberangkatannya!”
“Tiket sudah di tangan. Saya disarankan oleh Pak Saini untuk menemui Bapak, agar dihubungkan ke masyarakat Indonesia di Kota Perth, untuk singgah dan jadi guide!”
(Bersambung)
Pingback: SURAT DARI KING’S PARK - Jurdik.id