SURAT DARI KING’S PARK (4)
MENJADI CALO
Oleh Doddi Ahmad Fauji
Dirjen bernada suara tinggi.
“Ini merepotkan para pelajar di sana. Jangan kamu kira tinggal di luar negeri itu enak, apalagi jika sedang belajar! Benar kamu hanya akan singgah?”
“Iya Pak. Saya bersama kawan, perlu tempat istirahat dan minta dibantu membeli tiket.”
“Eh, itu dari Perth ke Melbourne jauh sekali. Lebih dauh dari Aceh ke Irian Jaya. Harga tiketnya juga bisa lebih mahal dari Jakarta ke Perth.”
“Tapi saya harus berangkat, membawa katalog pertunjukan teater, dan peralatan lain yang menjadi tugas kami.”
Lalu Dirjen memanggil stafnya, dan meminta dicarikan nomor telepon seseorang di Australia. Ada rasa: plong!

Saat terhubung, Dirjen mengangkat gagang telepon yang menggunakan wireless, yang pertama kalinya saya lihat. Belum pernah ada yang menggunakan telepon genggam pada tahun 1995. Malah saya belum tahu kalau sudah ada telepon genggam (HP) di muka bumi. HP baru ada dalam film kartun.
Obrolan terjadi, dan suara Dirjen sengaja sepertinya diperkeras, supaya terdengar oleh saya.
“Ada dua mahasiswa IKIP dari Bandung, mau ikut festival teater kampus di Wolongong University, Melbourne. Tapi tiket mereka hanya sampai di Kota Perth, dan setelah itu akan melanjutkan perjalanan ke sana, tapi butuh singgah untuk istirahat, dibantu carikan tiket untuk ke Melbourne, ya.”
Obrolan selanjutnya, tidak saya dengar. Selesai menelepon, Dirjen kembali ke kursinya.
Ini adalah pengalaman kedua saya naik pesawat terbang. Pengalaman pertama terjadi tahun 1993, saat berangkat ke Banjarmasin dari Surabaya bersama senior Kang Erwan Juhara. Mungkin remeh temeh kisah bisa ke Banjarmasin naik pesawat, tapi siapa tahu ada pembaca yang terinspirasi, makanya nanti akan saya tuturkan.
“Pak Bambang akan menjemput kalian di Bandara. Ingat, jangan menyusahkan mereka. Ini nomor telepon rumah Pak Bambang,” kata Dirjen.
Bahagia saat itu, sulit dilukiskan. Saya keluar dari ruangan Dirjen, tidak dikasih uang sih, tapi dengan membawa kepastian dan nomor telepon rumah, rasanya itu nomor, sudah seperti uang dolar. Saya berjalan cepat sambil bersiul. Lupa waktu itu, lagu apa yang disiulkan.
Sampai di Kampung Melayu, saya langsung lapor ke Paman dan Ayah, yen saya jadi berangkat, dan saat itu juga akan ke Gambir. Bayangan matahari sudah mulai ke arah Timur, artinya, kira-kira pukul 13.30 saya di Kampung Melayu.
“Emang mah mung bisa ngadungakeun, sing salamet di jalan, bulak-balik!”
(Paman hanya bisa berdoa, moga selamat pergi dan pulangnya).
Ada nada sedih bercampur bahagia pada suara yang menguar dari bibir paman. Suara seperti itu pula yang kudengar berpendar dari bibir ibuku, saat melepasku sore itu dengan doa, ketika aku berpamit hendak bertarung.
“Naha atuh rek ka luar negeri teh meni jiga rek indit ka Garut wae, teu persiapan?”
(Kenapa mau ke luar negeri itu seperti mau pergi ke Garut, tanpa persiapan).
Ibuku memalingkan muka, dan terdengar pelan isak tangis. Pastinya, seorang ibu akan ada perasaan sedih, jika tak bisa membekali uang, apalagi bepergian ke tempat jauh. Sambil menulisan memoir ini, aku mengenang ibuku adalah Cut Nyak Dhien-ku yang telah berkalang tanah, yang selalu membesarkan hati anaknya, dan mendorong sebisa-bisanya, setidaknya dengan doa. Maka, dengan doa pula aku berziarah. Tulisan ini Ibu, adalah ziarahku dengan cara yang lain.
Dengan bus kota dari Kampung Melayu, aku sampai di Stasiun Gambir, dan harus ke bandara juga dengan Damri (khusus angkutan bandara). Namun bus kota yang murah meriah itu telah berangkat beberapa menit yang lalu. Menurut calon penumpang yang lain, Damri berikutnya ke Bandara, akan berangkat sejam kemudian. Perjalanan bus dari Stasiun Gambir ke Bandara Soekarno Hatta, memakan waktu satu jam pula, itupun jika di dalam kota tidak macet parah.
Mati aku, ini pukul tiga sore, sedang aku sudah harus di bandara paling telat pukul 16.30. Kalau tak bisa, maka akan ketinggalan pesawat ke kota Perth.
Maka kutatap satu per satu orang yang bergulung di halte bus kota Damri. Dan, aku beradu tatap dengan seseorang yang segera mendekatiku.
“Mau ke Bandara?”
“Iya,” jawabku, setengah lemas.
“Damri sudah berangkat, harus nunggu satu jam lagi. Memang jam berapa harus di Bandara?”
“Jam setengah lima,” jawabku.
“Wah, tak akan terkejar. Mending naik taksi saja yu. Tidak usah pake argo, biar murah,” kata dia yang tadi beradu tatap itu, yang ternyata sopir taksi.
“Memang berapa ongkos ke Bandara?”
“Lima ribu saja, mau?”
Jaman itu, tahun 1995, Rp 5.000, senilai dengan 300.000 jaman sekarang.
“Boleh penumpang lebih dari 1 orang?” tanyaku.
“Empat orang bisa. Satu di depan, 3 di belakang,” kata sopir.
“Tunggu sebentar,” kataku.
Dengan membawa ransel backpacker yang ukuran 125 liter, aku tatap lagi wajah calon penumpang. Mereka yang berwajah resah, seperti wajahku, bisa dimaknai sebagai calon penumpang yang harus segera sampai. Dan, kudapatkan wajah seperti itu, seorang bapak berusia kira-kira 50-an tahun.
“Bapak mau ke bandara?”
“Iya, tapi Damri masih lama. Jam 4 baru tiba.”
“Bagaimana kalau kita naik taksi? Nanti kita iuran, kan jadi murah!” tanyaku.
“Boleh, memang ada berapa orang yang mau iuran?”
“Ya kalau Bapak mau, berarti sudah berdua dengan saya. Nah, Bapak tunggu saja duduk di sini. Biar saya cari yang lain lagi!”

Aneh sungguh, bahwa aku tidak menunggu si bapak itu menjawab ya atau tidak. Wajahnya yang datar, kumaknai ia setuju. Dan kucari calon penumpang lain. Akhirnya aku berhasil mengumpulkan 2 orang lagi calon penumpang. Kini sudah berempat, kami bisa berangkat dengan taksi.
Dalam perjalanan di taksi, aku tertidur. Ketika sampai di Bandara, bapak yang bisa diajak kerjasama itu, mengucapkan terima kasih. Di Bandara, kami kembali berpencar sesuai rencana masing-masing. Setengah berlari aku menuju terminal D Stasiun 1 yang menjadi terminal keberangkatan ke luar negeri. Sampai di sana, ternyata Yoyo Yogasmana sudah ada, menunggu, dan tampak senyum ceria melihat kedatanganku.
“Ari sugan teh moal datang. Hayu ah urang bording pas (Kirain tak akan datang, hayu kita boarding pass).”
Adakalanya sebuah rencana, harus dijalankan dengan kegilaan. Namun sering pula, ide gila itu muncul seketika, seperti terpaksa menjadi calo taksi, atau ketika aku nyelonong menemui Pak Habibie, saat lengah dari ajudan pengawalnya. Karena berani nyelonong ke Pak Habibie, aku mendapatkan tiket Jakarta – Perth. Kawan, nanti kuceritakan bagaimana aku nyelonong ke hadapan Pak Habibie.
(Bersambung)
Bagian sebelumnya:
Bagian 3: https://jurdik.id/2022/06/09/surat-dari-kings-park-bagian-3/
Bagian 2 : https://jurdik.id/2022/06/06/surat-dari-kings-park-2/
Bagian 1 : https://jurdik.id/2022/05/31/surat-dari-kings-park/