BOROBUDUR ADALAH PERPUSTAKAAN

Bagian Satu

HEBOHNYA naik harga tiket masuk Candi Borobudur, yang semula Rp.50.000 menjadi Rp.750.000, pada awal Juni 2022 ini, membuat saya teringat kembali diskusi perkara Candi peninggalan dinasti Syailendra itu, yang menurut catatan belum seutuhnya terverifikasi, diperkirakan memakan waktu 200 tahun pembangunannya, atau enam generasi manusia Indonesia.

Selesai tugas keredaksian di Tabloid Koktail sekira tahun 2007, kami suka ngobrol ngalor-ngidul, hingga tersesat pada kisah Nabi Hidir yang sulit dijangkow oleh referensi, dan memang jarang dikisahkan dalam kitab resmi. Buntu membahas Hidir, kami merangsek ke bahtera Nabi Nuh, Habil dan Kabil, situs Gunung Padang, kadang nyerempet pada pembahasan doa sebagai password, lalu Borobudur merupakan perpustakaan klasik terbesar bangsa Indonesia, khususon penganut Budha, yang sayangnya, kita tidak diajari ilmu membaca literasi, yang tertuang melimpah di sana, dalam bentuk relief, komposisi arsitektural, jejak artefak dan seni ukir taperil, hingga imajinasi tentang kewilayahan.

Agus Sopian (almarhum) yang menjadi Redaktur Pelaksana Tabloid Koktail (mulai Mei 2008 berganti menjadi Majalah Arti), berketetapan yen Borobudur didirikan bukan hanya untuk rumah ibadat, tapi juga sebagey prasasti, yang karena menghimpun sekian simbol aksara atau literasi, maka Borobudur menjadi perpustakaan prasastri terbesar kala itu.

Ada Arie MP Tamba (juga kini almarhum), yang menjadi wakil Redpel, rajin menyimak dengan senyum khasnya yang bisa menggetarkaan wanoja, sesekali suka juga berpendapat. Tapi bila sudah ngobrol ngalor-ngidul mengalir tanpa tema, non-teknik, zonder teori baku, saya menjadi peladen tuturan Agus Sopian yang sering membuatnya terbahak-bahak.

“Saya setuju, Borobudur adalah perpustakaan literasi (aksara)!” kataku, kepada para hadirin, terutama kepada Agus Sopian yang mengusung Borobudur sebagai perpustkaan.

Tulisan Agus Sopian mengenai Borobudur sebagey perpustakaan, termuat dalam tabloid Koktail, tapi sayang sungguh, saya belum menemukan kliping atau dokumentasi digitlnya. Tulisannya cukup afdol, mendekati ‘sanad hasan’, untuk menegaskan kenapa Bobobudur ia sebut sebagi perpustkaan.

Foto dok darilaut.id

Seperti diterakan pada paragraf dua di atas, ada banyak literasi atau aksara di Borobudur, yang diejawantahkan dalam bentuk sandi, simbol, relief, tetengger, komposisi ruang dan bidang arsitektural, jejak artefak, hasil ukir taperil, hingga jelujur imajinasi tentang wilayah mandala dan nagara, yang terbentang dari Gunung Merapi hingga Pantey Parangteritis.

Leluhur pelaut bangsa Indonesia, kita mengkalimnya telah berhasil menembus Samudra Hindia, hingga terdampar di Barat Afrika, tepatnya di Pulau Madagaskar, sebagian tak bisa pulang dan lalu menetap di sana, beranak pinak hingga sekarang. Di Madagaskar, ada perkampunga bercorak etnik Sasak, Bugis, Jawa, dll. Mereka masih menjunjung Bahasa adat sebagai wahana komunikasi di Madagaskar. Pengakuan ini, tidak ujug-ujug dilontarkan, namun salah satunya lahir atas pembacaan biorama dan diorama historikal, yang dibentangkan dalam bentuk relief pada dinding Borobudur. Para arkeolog dan peneliti sejarah coba menafsir makna relief itu, hingga lahir klaim, leluhur suku-suku di Nusantara, telah menjelajah Samudra Hindia.

Jelajah laut itu, dengan konon hanya menggunakan kapal bercandik bernama Phinisi, mampu melaju karena dibantu oleh daya hembus angin muson yang konstan. Ada yang mengklaim, sebagian pelaut membelah perut Samudra. Karena memiliki wawasan oceonologi dan astronomi, membuat kapal kecil manual rekiplik itu, tidak tikelebuh dihantam badey di samudra. Berarti hebat ya leluhur kita bangsa pelaut.

Dokumentasi foto Amink Derahman

Nah, kenapa disebut Candi Borobudur, adalah terkait dengan nama pelayaran itu, yang diberi juluk ‘Arung Borobudur’, yang terjadi sekira abad ke-4 sebelum Yesus lahir, atau 9 Abad sebelum Muhammad menerima gelar Nabi di gurun tandus. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di era Kabinet SBY ke-II, pernah menapaktilasi Arung Borobudur itu.

Pelayaran maut leluhur kita itu, dicatat sebagai Pelayaran Maut kedua setelah bangsa Punisia, yang entah datang dari mana, mereka sampai ke Benua Biru Eropa. Kemungkinan orang Punisia itu berasal dari Afrika, menyusuri lekuk gigir pantey, dan tiba di kota-kota penting Eropa kala itu.

Pelayaran Maut ketiga, kembali rekornya dipecahkan oleh orang Indonesia, yaitu korps marinir Kapten Gita Ardjakusuma asal Garut, yang membelah Samudra Pasifik. Dengan meniru Kembali Kapal Phinisi Nusantara, yang digunakan oleh leluhur dulu, Gita dan timnya meluncur dari Pantey Losari di Makkasar, menuju Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, lalu bertolak membelah Pasifik sepanjang 11.000 mil laut, dan sampai di Pelabuhan Vancouver, Kanada, dan melanjutkannya ke San Diego, Amerika Serikat. Itu terjadi pada 1986, saat dihelat Vancouver Expo 86, yang diikuti aneka dan rupa karakter pelaut dunia.

Kapten Gita menjadi nakhoda sukses, membuat salut para pelaut ulung dari berbagai manca, dan menganggap nekatisasi Ardjakusuma ini adalah pelayaran menyerahkan jasad kepada hiu dan badey. Sepanjang mengapung, Gita ditemani 11 Anak Buah Kapal (ABK), termasuk dua wartawan (satu dari Kanada, dan Pius Caro dari Kompas).

Bila kesuksesan Pelayaran Maut ke-2, yang diberi juluk Arung Borobudur mampu diabadikan dalam bentuk literasi simbolik, seperti yang termaktub dalam Candi terbaik di dunia itu, hingga masuk ke dalam 1 dari tujuh keajaiban dunia versi Unesco, sayang sungguh untuk Pelayaran Maut ketiga oleh Kapten Gita dkk., belum ada yang membuatkan dokumentasi literatif monumentalnya. Bisa jadi, karena ayah Gita distigma sebagai eksponen PKI, maka karier Gita Ardjakusuma dalam bidang militer pun, hanya terhenti di pangkat Perwira Muda.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *