Surat Dari B
Kau sedang merokok sekarang, di hadapan laptop asusmu dengan keadaan masih takut mati muda. Meskipun beberapa jam yang lalu, kau dengar Nadel El-Saadawi, pengarang Mesir itu ngucap, yen takut mati adalah ilusi, dan filososi reinkarnasi itu nonsense, dan lari dari pokok maut. Padahal, ketika mati, kau tiada. Aneh sekali memang hidup, dan kau, tentunya. Kau selalu berpikir, apakah ketika kau mati, orang-orang akan merasa kehilangan? Beberapa ucapan belasungkawa hilir mudik dalam media sosial, beberapa orang ngerumpikan kau tentang jasa-jasamu, kebaikan-kebaikanmu, dan rombongan pelayad dari mulai bocah, bapak-bapak, temanmu, apakah merasa kehilanganmu?
Sudah beberapa hari, takut mati itu bersemayam dalam tubuhmu. Namun, kau selalu menyela, selalu punya dalih, selalu punya alasan: “bagaimana kalau saya mati, dan novel saya belum jadi? Itulah yang saya takuti dari maut.” Sekarang, teranglah. Yen kau takut maut, karena kau membebani hidupmu dengan hendak memberikan sesuatu. Coba kau hidup, tanpa beban sesuatu. Eittt…. tetapi apakah ada di muka bumi ini orang yang tak membebani dirinya dengan sesuatu untuk dunia, bangsa, agama, keluarga, dan dirinya? Tak!
Baiklah…. Coba kau ingat-ingat kembali, ketika kau bercakap dengan K di sebuah café. Kutip sana-sini tentang maut. Dari mulai Camus, Eugene Ionesco, Soren Kiekegaad, dan entah siapa sih? Ah lupa, ah. Kau bilang, Camus tahu bahwa maut adalah takdir. Dari sononya. Maka, cueklah terhadap maut, toh ia bagian dari diri kita, padahal Camus juga takut mati muda. Dari Ionesco, apa sih ah lupa. Ah! Nah. Kau bilang, bahwa Keluarga Kiekegaad, semua mati muda. Itu bermula ketika babeh Kiekegaad, masih bocah belia mengutuk/menghujat Allah. Babeh Kiekegaad yakin dengan hukum pantul/karma, sebabnya anak-anaknya mati muda. Kiekegaad, yang mengamini omongan babehnya, menjadi sadar, dan berangkat dari kesadaran itu, ia hidup serba kreatif nulis ini-itu, bahas filsafatlah, Teologislah, dan muisi (menulis puisi) tentunya. Dari Kiekegaad itu pulalah kau dapat inspirasi: karena aku takut mati, seluruh urusan hidup mesti serba cepat, kreatif, tuntas, dan bersegaralah!
Sialnya, lain teori, lain praktik. Masih saja sampai kepulan asap terkahir dari rokok samsumu, takut mati, dan hidup bersegera tak kau lakukan. Kau hanya termangu, serupa orang dongkol. Kau ngucap bismillah, dan kembali mengetik. Kau tak melanjutkan cerita di novelmu yang berjudul: ‘Goyang Dombret’ itu.
Odong dan kematian, kau tulis itu. Setelah beberapa menit, mungkin jam, kau berhasil menulis ini: Saya coba memudahkan permenungan itu dengan sebuah ilustrasi yang bernegasi dengan pandangan saya, beginilah ilustrasinya. Saya beri judul odong dan kematian. Tak usah tanya kenapa diberi judul begitu. Yang nulis saya, yang repot kok anda, maut.
Al-kisah, di lapangan bola sedang diadakan lomba balap lari. Lomba balap lari itu dikuti oleh 6 orang saja. Sebut saja Odong adalah seorang pelari yang digadang-gadang akan memenangkan perlombaan. Karena pernah suatu hari, Odong berlari dengan citah, dan menang. Orang-orang sudah memperkirakan, bahwa sepersekian detik setelah pluit berbunyi, Odong sudah mendekati finis. Tetapi, Odong malah jalan santai, sambil dadah-dadahan. Setelah membikin jarak antara pelari lain, Odong melesat. Orang-orang bersorak-sorai. Hanya beberapa langkah lagi Odong mencapai finish, ia tergeletak dan mati.
Odong bisa saja menang lomba, apabila ia sadar hari ini adalah lari terakhir. Tetapi karena Odong, sombong dan mengira bahwa ini bukan lari terakhir, ia pun tidak memaksimalkan bakatnya, Hasilnya ia kalah, oleh dirinya, oleh maut itu sendiri.
Kau menggaruk-garuk kepalamu, menutup laptopmu. Hari ini, adalah hari terakhir. Esok yang lain, belum tentu ada, kau menggerutu. Dibuka lagi laptopmu, kau melanjutkan ceritamu penuh gairah. Karena aku tak tahu apakah besok ada dan tiada, setiap hari adalah terakhir. Karena aku tak tahu apakah besok kujumpai, maka kukerahkan diriku agar perkara hari ini semua tunai. Tulismu.
2022.