JALAN SETAPAK UMAT IBRAHIM: Bagian 4
Yang Samar dan yang Linier
Oleh Arip Senjaya
Saya mengenal Wan Anwar sejak tahun 1996. Waktu itu saya baru masuk kelas S1 dan dia sedang memikirkan skripsinya sambil mengontrak beberapa mata kuliah yang belum lulus di kelas rendah (semester 1 atau 3). Ia menghabiskan masa D3 hingga S1 sepanjang tujuh tahun.
Sejak itu kesan saya tidak berubah tentang dia, dia adalah seorang yang berusaha ketat dalam teori-teori dengan cara melonggarkan teori-teori itu. Cara berpikirnya tidak berdasarkan definisi-definisi, tetapi berdasarkan kaitan-kaitan dunia. Ia biasa mengaitkan sastra, cinta, agama, Tuhan, politik, seni. Pada saat dia S2, dia menambah pembicaraan dengan tema-tema kebangsaan, dan itu artinya dia adalah seorang yang menyukai hubungan-hubungan antarteks.
Setelah menjadi dosen, dia akan berhadapan dengan skripsi atau tugas-tugas mahasiswanya yang melulu merupakan definisi-definisi tentang cerpen, novel, puisi, drama, atau pendidikan. Tentu saja dia tidak bisa berdamai dengan cara berpikir mahasiswa-mahasiswanya sehingga dia mendirikan Kafe Ide yang lebih banyak mengelola pertujukan sastra dan teater bersama Nandang Aradea di kampusnya sendiri dan juga bersama para alumni yang meminati sastra, mendirikan Kubah Budaya di luar kampus. Dengan kedua lembaga itu ia membangun ruang untuk para pembaca antarteks, bukan pembaca definisi. Organisasi terakhir di lingkungan kampus yang ia dirikan adalah Belistra (Bengkel Menulis Sastra).
Di Kafe Ide dia malah berharap lahir lulusan-lulusan yang memiliki pengalaman tubuh selain pengalaman baca, dan teater baginya seakan merupakan ruang eksperimen daya ucap puitiknya sendiri yang ia wujudkan bersama Nandang dalam naskah dan pertunjukan Teknologi Penjara. TP ini memukau saat dilombakan dalam ajang Feksiminas di Bandung tahun 1999 hingga salah satu aktrisnya, Veronika Dian Faradisa, mendapatkan penghargaan terbaik.
Tapi itulah eksperimen pertama dan terakhir Wan Anwar dalam teater. Ia tak pernah lagi menulis naskah drama atau terlalu ikut campur dalam pertunjukan-pertunjukkan lainnya di Kafe Ide. Teater demi teater kemudian tumbuh sebagai disiplin melalui beberapa petualangannya menonton teater-teater penting di beberapa kota di Indonesia. Ia pernah menjemput saya dari Serang ke Bandung dan mengajak saya menonton salah satu garapan Teater Kubur Dindon WS di Jakarta.
Dengan kata lain, Wan Anwar adalah seorang yang pernah meminati penteorian teater-teater itu. Dan memang sejak kami masih di Bandung, dia sangat getol memaksa saya menemaninya menonton beberapa pertunjukkan seni lain seperti tari. Tidak jarang saya tidur di gedung pertunjukkan tari karena bosan. Akhirnya beberapa esainya tentang pertunjukkan pun lahir, seperti esai tentang wayang garing (salah satu seni wayag kulit di Serang) yang ia kaitkan dengan konsep teater Brechtian dan dimuat di salah satu koran lokal di Banten. Saya tidak membaca esai itu, tapi mendengarkan penjelasannya langsung sambil tersenyum-senyum memberi komentar karena dia memang orangnya tidak benar-benar mengikuti Berthold Brecht.
Ya, tak apa, dalam hal ini Wan Anwar hanya sedang mencoba eksplorasi ke dunia pertunjukkan. Orang pertama-tama mengerti apa pun sedikit saja, dan akan mengerti lebih jauh jika terus mempelajarinya. Senangnya saya, dia tidak pernah marah jika saya beri masukan, dia sangat menghargai pendapat siapa pun sejauh itu lebih baik. Mungkin itu sebabnya dia meminta saya jadi dosen di Untirta, agar dia bisa mendengarkan pendapat-pendapat saya. Skripsi saya waktu itu adalah tentang konsep penyutradaraan Bertold Brecht. Wajar jika secara teori saya lebih tahu Brecht.
Keuntungan buat saya sendiri jelas lebih besar, saya mengenal berbagai pemikiran Wan Anwar yang saya tidak ikuti, seperti sufisme, Islam, politik, dan kebudayaan. Dan hingga saat saya memulai jadi dosen saya belum benar-benar move on dari pengalaman sains saya masa SMA dan mengajar sastra waktu itu seakan suatu eksplorasi baru dan sebagai akibat saya kuliah S1 bidang pendidikan bahasa dan sastra. Wan Anwar benar-benar menjadi guru saya dalam memahami relasi-relasi pemikiran.
Tapi sayang sekali saya tidak dapat membicarakan mekanika Newton atau Revolusi Copernican dengan dia, kecuali sedikit-sedikit, dan dia benar-benar gelap ketika saya membahas konsep medan listrik Faraday gara-gara saya membaca salah satu merk cakram di meja komputernya bernama “Maxwell”. Kadang-kadang dengan sengit dan sambil melucu dia bilang segala yang saya bicarakan tidak lebih penting dari sastra. Saya pun kadang-kadang membalas bahwa di mata saya sastra tidak lebih penting juga.
Tapi saya menulis berbagai cerpen, puisi, esai, juga drama saat itu, dan berusaha menganggap semua itu penting. Padahal niat saya hanya mendapatkan honorarium koran atau majalah akibat kemiskinan yang melanda saya hingga lima tahun pertama sebagai dosen. Dibilang tidak suka, saya terus membaca sastra, dibilang benci saya makin menghayati semua itu. Saya kira saya adalah korban lingkungan baru di mana Wan Anwar menjadi pusat perhatian saya waktu itu karena dengan dialah saya tetap bisa berbagi hal-hal yang menurut dia tidak terlalu penting tapi diam-diam dia dengarkan juga. Dia memang senang belajar hal-hal baru.
Data observasi
Puisi-puisi Wan Anwar di mata saya tidak lebih menarik dari cara berpikir teoretik dia sendiri dalam hal mengait-ngaitkan pemikiran satu ke pemikiran lain. Cara kerjanya tak lebih dari pemanfaatan data-observasi dan ia tidak menyadari paradoks penolakkannya terhadap sains-observatif.
“Kalau orang bicara geladak dan mencium bau anyir, tidakkah itu cara kerja seorang modernis?” Tanya saya sauatu hari demi membaca puisinya yang berjudul “Kau, Laut, dan Kata”. ”Jangan Akang mengira, penyair kalau cara berpikir macam itu merupakan cara berpikir seorang ilmuwan lapangan!”
“Maksudmu gimana?” Ia bertanya.
“Anyir itu seperti bau bangkai, kapal itu ya melaju, di laut ada gurita, di angkasa ada burung-burung, apakah ini puisi?”
“Harusnya bagaimana?”
“Itu pertanyaan saya untuk penyair yang sudah jadi macam Akang. Kompleksitas puisi menurut saya jauh lebih penting ketimbang kejelasan observatifnya dan itulah tugas puisi: untuk terlepas dari cara pikir ilmu biasa.”
“Tapi kau harus perhatikan metafor-metafornya, dan itulah puisi!”
“Oke, mari kita baca bersama!” Kata saya sambil membuka buku Sebelum Senja Selesai itu dan menemukan puisi tadi di halaman tiga.
Kau, Laut, dan Kata
di geladak sudah tercium kata-kata
anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang
kausebut hidup adalah perjudian dan entah siapa
entah di mana seseorang mengangguk
untuk yang tak terbaca
“Mana metafor itu? Tercium kata-kata anyir seperti bangkai? Apakah karena yang anyir itu kata-kata maka itu menjadi metafor?”
“Iya!” Dia menjawab dengan meyakinkan.
“Tidak. Itu dengan segera dipahami. Saya bisa langsung mengira maksudnya adalah kata-kata busuk, kata-kata tidak penting, kata-kata basi, karena dijelaskan dengan anyir seperti bangkai. Dan jika bukan itu maksudnya, maka apa dong? Dan jika metafor bersifat segera, puisi tak punya harga penting lagi. Metafor menurut saya mesti bersifat tidak segera. ‘Atom’, ‘bawah sadar’, ‘daya’, ‘gaya’, ‘massa’, ‘tensi’, jauh lebih metafor pada kurun tertentu karena semuanya samar. Jadi, metafor itu mesti samar dan menantang ilmu-kemudian untuk menjelaskannya. Metafor mesti memberi arti penting pada apa yang berusaha diucapkannya. Kelak metafor-metafor itu penting, bermakna, atau hilang. ‘Ether’ adalah contoh metafor yang hilang itu. Tapi ‘bawah sadar’ adalah contoh metafor yang kini berkembang.”
Sebelum Wan Anwar membalas penjelasan saya, saya menyambar buku itu lagi. (Cara berdebat yang baik adalah jangan beri ruang kesempatan orang membalas!)
“Baik kita teruskan dengan bait ke dua!
kau mengaruhi lautan, dengan riang
menjemput yang akan datang. Kaukutuk masa silam
sambil merapikan rambut dan kenangan
kapal melaju, sunyi merambat jauh
ke palung-palung di batinmu
“Mana itu metafor? Pasti menjemput yang akan datang atau merapikan… kenangan atau sunyi merambat jauh atau batin sebagai palung! Itu bukan metafor masa sekali. Itu adalah penjelasan tambahan linier. Batin sebagai bagian yang kita bayangkan ada di dalam diri kita, tentu linier dengan palung yang merupakan bagian terdalam lautan. Jika hanya linearias yang jadi pola, bahasa puisi tidak lebih canggih dari bahasa biasa. Apa lebihnya puisi?”
Linieritas
Begitulah saya biasa menggoda sahabat saya itu dengan perspektif ilmu, dan mungkin saya tidak sekadar menggoda karena memang pada faktanya linieritas bukanlah metafora sama sekali. Pola model palung-batin ini saya temukan di berbagai puisi Wan Anwar dan juga puisi-puisi para penyair lainnya dan juga saya sendiri. Saya tidak berharap generasi yang ada di bawah kami melakukan hal serupa, sebab kehilangan kesamaran pada dunia sebenarnya adalah kehilangan dunia itu sendiri.
Dunia tidak menarik dalam linieritas karena berpikir linier hanyalah cara kerja penambahan data. Malam ditambah hitam ditambah kelam, misalnya, adalah linier dan melulu hanya menambah terang makna gelap di dalamnya. Mefator mesti merupakan usaha mengkarakterisasi dunia yang ingin dikatakannya seperti usaha keras fisika Newtonian mengkarakterisasi massa.
Konsep massa lebih metaforis ketimbang konsep agama karena yang terakhir tidak menantang manusia untuk semakin jelas memahaminya. Agama dipahami dengan linieritas-linieritas saja. Munculnya keanekaragaman pemahaman terhadap sesuatu pada dasarnya bukan suatu tanda yang baik bagi metafor-metafor kunci di dalam sesuatu itu. Metafor yang baik justru akan menghantarkan kita pada semakin ketatnya ilmu untuk memahaminya, seperti pada kasus bawah sadar. Kita perlu memahami dengan baik pikiran Sigmund Freud dan para penerusnya dengan seketat-ketatnya, tidak boleh dengan keanekaragaman yang saling menjauh, dan juga tidak mungkin melalui penjelajahan definisi. Dari Freud hingga Lacan misalnya harus dipahami bersamaan atau keseluruhan dan bukan bergerak mundur—memahami Lacan mesti memahami Freud terlebih dahulu.
Gerak mundur bukan kinerja metafor yang saya bayangkan. Metafor mesti ke masa depan karena ia mesti merupakan inspirasi. Sesuatu disebut inspirasi jika ia memproyeksi dan bukan merefleksi. Newton malah kekecualian yang luar biasa karena kita tidak akan bisa memahami penjelasan dia dari teori-teori sebelum dia. Tidak ada penjelasan tentang massa atau gaya sebelum dia.
Kini saya mengerti—dan bahkan menyadari diri saya pun begitu—mengapa sejumlah penyair menjelaskan cara pandang kreatifnya pada pengantar buku puisi mereka, tak lain untuk menolak paradoks empirisme para pembaca. Mereka khawatir pembaca menteorisasi puisi dari pengalaman baca sebab puisi yang dimaksud para penyair itu bukan yang boleh disimpulkan berdasarkan pengalaman observatif-tekstual, tetapi berdasarkan “teori subjektif” penyairnya sendiri. Para penyair membayangkan dirinya Galileo yang teori dan penciptaannya mesti dibuat sejalan atau puisi adalah tak lebih dari eksperimen pemikiran, tapi para pembaca pada dasarnya memang kaum empiris, paling tidak untuk pertama-tama membaca seperti yang saya lakukan untuk mengolok-olok sahabat saya itu.
Saya dan Wan Anwar dalam kasus ini adalah sebuah metafor penyair dan pembaca yang masing-masing berdiri di atas bangunan teori sendiri-sendiri. Ia punya keketatan sendiri, begitu pun saya. Siapa benar siapa salah, tidak penting dalam sejarah ilmu, tapi pandangan siapakah yang akan bertahan, itulah inti sejarah pemikiran.
Wan Anwar meninggal tahun 2009, tapi metafor dalam definisi dialah yang rupanya masih bertahan di kalangan penyair-penyair kemudian. Saya tidak mengerti mengapa. ***