JALAN SETAPAK UMAT IBRAHIM: Bagian 11

Foto dok Arip Senjaya

Puisi dan Tafsir Nadawi

 

Oleh Arip Senjaya | Arip Senjaya, dosen filsafat dan sastra di FKIP Untirta.

Beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Seni Musik UPI memawancara saya berkaitan dengan mupuser Panji Sakti. Ia meneliti salah satu produk musikalisasi puisi Panji yang kebetulan memang pernah menggarap beberapa puisi saya juga. Mupuser adalah seniman yang mengalihkan puisi menjadi karya nyanyian (unsur vokal ini saya kira bagian dari musik itu sendiri). Beberapa wawancara itu dan jawabannya saya alihkan di sini, dan saya masih juga membahas semua itu dalam pengalaman sains.

 

Apakah pembaca puisi harus bisa menafsirkan puisi seperti penyairnya sendiri?

Tentu saja tidak, dan tidak akan pernah bisa. Penyair menulis pengalamannya, dan pengalaman menulis puisi adalah pengalaman lainnya; pembaca sendiri bermodalkan pengalaman lain dan membaca puisi adalah pengalaman lain lagi.

Maksudnya?

Saya melihat bunga sedang mekar, itu adalah pengalaman I (P1), lalu saya menulis puisi kata pun mekar di nada-nada samar. Puisi saya itu P2. Suatu hari puisi itu saya kirim ke koran dan saya membacanya di koran yang memuatnya, itulah P3. Suatu hari lain saya menerbitkan kumpulan puisi saya dan puisi tadi dimuat pula di buku itu, dan saya membacanya lagi, itulah P4. Suatu hari Panji Sakti mengalihwahanakan puisi saya jadi mupus (musikalisasi puisi) dan saya mendengarnya, itulah P5.

Seberapa penting pengalaman penafsir puisi seperti Panji Sakti itu?

Pengalaman Panji bukan pengalaman saya. Dia sepertinya mencintai pikiran-pikiran sufisme, gagasan-gagasan religiousitas dari para ulama sufi, sedangkan saya mencintai fisika. Paling tidak saya memang lulusan SMA-Biologi. Jadi, kami tak pernah sama. Puisi bagi saya lebih sebagai materi, sebab semua tersentuh, terkatakan, terlihat dalam bait dan baris, kata-kata tak lebih dari suara, dan huruf adalah simbol suara. Panji mungkin menangkap nada, makna, juga rasa hingga jadilah nyanyian-nyanyian. Apa yang dia baca selalu menginspirasinya untuk mencipta nyanyian. Ditambah perhatiannya pada sufisme atau religiousitas jadilah nyanyian-nyanyian yang mengharap cinta dengan C kapital. Agama itu ber-Tuhan, tapi sufisme punya rumus: Tuhan = Cinta.  Beribadah adalah ber-Cinta, menyanyi juga akhirnya ber-Cinta. Maka saya dan Panji tidak pernah sama.

Dengan begitu mupuser punya kebebasan?

Kebebasan mupuser macam Panji hanya kebebasan terbatas. Ia bebas, tapi dibatasi nada. Selebihnya adalah hal-hal yang tidak tercatat nada —sebut saja itu aspek suprasegmental nyanyian— dan hanya Panji sendiri yang bisa rasakan (setiap pendengar bisa rasakan, tapi itu perasaan masing-masing). Panji bergulat dengan dirinya dan apa yang ingin digapainya (katakanlah itu Cinta), tidak bergulat dengan puisi saya. Kebebasan yang sebenarnya tidak ada.

Maksud saya bebas menafsir. Apakah begitu?

Tidak hanya mupuser. Siapa pun akan dengan sendirinya bebas menafsir. Membaca puisi itu bukan membaca maksud penyair, meski semangat awalnya begitu. Kenapa? Karena yang dihadapi pembaca hanya dunia material: kata-kata, tanda baca, bentuk puisi, tak ada lagi.

Kalau mupuser bertanya langsung kepada penyair maksud puisinya bagaimana?

Boleh-boleh saja, tapi tentu bukan bertanya apa maksud puisi tersebut. Katakanlah Panji bertanya begitu kepada saya apa maksud puisi “Perahu Lilin, 1” dan “Perahu Lilin, 2”, saya akan jelaskan berdasarkan dua puisi tersebut. Dan apakah itu cukup bagi Panji? Tentu tidak pernah cukup hingga akhirnya dia akan kembali menafsir. Jadi, penjelasan saya hanya dibutuhkan untuk menguatkan tafsirnya. Hal-hal yang tidak berkesesuaian dengan Panji sendiri tentu akan dia anulir. Kita tentu bisa mengerti kenapa seorang Panji menyanyi? Itu karena penafsirannya sebagai pembaca tidak pernah mencukupi, dan ia akan merasa cukup atau hampir cukup ketika menyanyikan puisi yang ditafsirkannya. Saya setuju mupus itu merupakan bagian dari tafsir puisi. Sebagai tafsir tentu mupus tidak bersifat ilmiah karena belum dikembangkan metodologi ilmiahnya. Tafsir puisi bisa ilmiah (objektif-metodologis), bisa pula tidak ilmiah (subjektif-intuitif). Keduanya punya kelebihan dan kekurangan.

Mana yang lebih baik kalau begitu, ilmiah atau tidak ilmiah?

Tidak ada yang lebih baik. Modernisme menjunjung tinggi pikiran, rasio, dan mereka bertemu banyak kegagalan. Galileo tidak sempurna diteruskan Newton, Newton juga begitu, diteruskan Einstein. Einstein tidak lagi banyak dibicarakan setelah kita membaca Stephen Hawking. Lalu berkembang posmodernisme yang tidak lagi banyak bicara rasio, bahkan menolaknya, dan mereka mengembangkan ide-ide tentang tubuh atau yang moderat mencoba membicarakan kaitan tubuh dan pikiran. Dulu kita kagum pada “cogito ergo sum” René Descartes, “aku berpikir karenanya aku ada”, tapi sekarang mungkin kita kagum pada sumbangan tubuh: “aku terluka maka aku ada”. Puasa adalah pengalaman tubuh, dengan puasa orang menyadari keterbatasan diri, kelemahan diri, nafsu diri. Solat juga tubuh. Ibadah itu mensyaratkan tubuh. Hal yang dikembangkan beberapa ahli gender juga tubuh: siapa laki-laki dan siapa perempuan dan siapa yang di antara keduanya tentu karena laki-laki punya penis dan perempuan punya vagina, yang dengan ciri-ciri tubuh itu lalu keduanya diberi stempel gender: kamu laki-laki karena punya penis, demikian juga perempuan disebut begitu karena punya vagina. Mereka protes jika dasarnya adalah konstruksi sosial macam itu, sebab tidak pernah ada hubungan antara kelamin dan diri. Kelamin itu fisik, diri itu konsep. Fenomena transgender, transeksual, adalah bukti problem tubuh. Kita harus ingat istilah “bias gender” yang sampai membayangi bahasa ilmu: apakah biologi itu objektif jika para biolog sendiri kebanyakan adalah laki-laki? Sperma itu dilukiskan aktif dan ovum pasif, mungkin karena bias gender itu. Biolog laki-laki menyebut aktif pada sperma karena dia laki-laki dan sperma adalah representasi serta berasal dari tubuh laki-laki; dia menyebut ovum itu lemah, pendiam, nerimo, karena dia memandang ovum berasal dari perempuan yang menurut mereka lebih lemah dari laki-laki.

Sebaliknya, pikiran-pikiran intuitif tidak melulu salah dan malah sering benar: mendung biasanya akan hujan. Itu intuisi yang berkata. Tidak ada intuisi tanpa pengalaman. Subjektivitas bahkan lebih kompleks lagi. Subjek itu tidak sekadar tahu teori, tapi juga punya teori. Tahu itu dari luar, punya itu dari sintesis aneka pengalaman subjek itu sendiri. RA Kartini berpikir dengan subjektif, dan pikiran-pikirannya penting. Tidak mungkin beliau menulis skripsi untuk mencurahkan pikirannya itu, karena dalam skripsi beliau tidak akan bisa kompleks. Akhirnya beliau menulis surat-surat. Surat tentu ruang untuk kompleksitas: sambil curhat sambil mendiskusikan masalah batin, misalnya. Jangan lupa bahwa banyak buku yang dikarang para filosof pada dasarnya bersifat subjektif-intuitif.

Maka siapa yang paling benar? Tidak ada. Manusia hanya diminta memilih mau berpikir dengan cara apa. Masing-masing ada kelemahan dan ada kelebihan. Puisi bisa saintik di tangan strukturalis-modernis, tapi jadi petualangan nilai di tangan pengkaji filsafat.

Masih penasaran dengan tafsir musikal. Apakah musik itu tafsir?

Ya, tafsir nadawi. Kalau perupa melukiskan sebuah puisi, misal jadi lukisan atau patung, tentu itu tafsir rupawi. Setiap alihwahana hanya mungkin karena adanya tafsir. Pada mulanya drama Umang, Umang Arifin C. Noer, misal, adalah naskah drama, untuk dibaca. Tapi di tangan seorang sutradara teater, naskah itu menjadi pertunjukan teater. Sutradara teater bisa membuat teater dari naskah apa saja: cerpen, novel, atau dari hal-hal lain yang non-naskah seperti sastra lisan. Intinya setiap teks adalah tafsir dari teks lain. Ingat lagi teori pengalaman tadi: bunga mekar di depan saya adalah teks I (P1/T1), puisi yang saya tulis adalah P2/T2, mupus Panji Sakti adalah P3/T3, Anda yang mendengar mupus Panji menerimanya sebagai P4/T4. Penguji skripsi Anda yang mengkaji mupus Panji membaca kajian Anda dalam ruang P5/T5. Orang tua Anda yang ingin tahu Anda itu meneliti apa, menerima cerita Anda sebagai P6/T6, begitu terus. Dunia ini tentang perjalanan teks saja.

Kapan waktu Anda menyebut makna puisi, kapan waktu menyebut arti puisi. Apa beda keduanya?

Saya tidak menyadari hal itu. Kadang-kadang mungkin maksud saya sama, makna ya arti, arti ya makna. Tapi mungkin juga tidak sama. Saya lupa konteksnya. Kita akan selalu bicara apa saja, dengan kata yang sama atau berlainan, berdasarkan konteks, tapi ini soal konteks-rasa atau konteks-bunyi.

Suatu hari Rendra mengatakan Segalanya sangat berarti. Meskipun tanpa makna. Dalam konteks-rasa saya kalimat tersebut tidak dapat dibalik menjadi Segalanya sangat bermakna. Meskipun tanpa arti.

Mengapa?

Puisi itu bunyi dan tiga kata terakhir puisi Rendra tersebut mengandung <tanpa>. Dua /a/ dalam kata tersebut bertemu dengan dua /a/ pada kata <makna> sehingga Rendra menulisnya Meskipun tanpa makna dan bukan Meskipun tanpa arti. Kalau saya jadi Rendra dan mau menggunakan <arti> untuk kata terakhir, maka saya akan mengganti <tanpa> jadi <tiada> sehingga kalimat terakhir itu menjadi Meskipun tiada arti: <tiada> dan <arti> bertemu dalam /i/.

Semoga Anda mengerti mengapa puisi masih sering disebut bunyi. Kita masih bicara rima, irama. Kita masih melihat fenomena musikalisasi puisi yang dirangsang oleh inspirasi bunyi dalam puisi-puisi. Pertama-tama adalah bunyi, dan ia menginspirasi, makna belakangan saja.

Puisi-puisi panggung/mimbar dan puisi-puisi kamar juga dibedakan oleh bunyi, bukan oleh tema. Puisi Rendra yang tadi “Jalan Unaran 8, Yogya” tentu tidak dapat dipahami sebagai puisi mimbar meskipun Rendra dikenal sebagai deklamator dalam arti piawai membacakan puisi di atas panggung. Untuk dibaca di kamar atau di beranda lebih baik lagi.

Dalam hidup sehari-hari kita juga berbahasa dengan menimbang konteks-bunyi, bahwa setiap bunyi kata berikutnya dari obrolan kita menimbang dan atau berdasar pada kata kita sebelumnya atau pada bunyi kata teman bicara kita. Itu artinya <arti> dan <makna> tidak dibedakan oleh arti/makna keduanya.

Mungkin hanya dalam pembedaan bahasa formal dan informal pilihan kata itu menjadi penting?

Untuk kasus tadi tidak. Anda bisa mengatakan “Penelitian ini akan memberi arti pada pembaca dalam hal…” boleh juga mengatakan “Penelitian ini akan memberi makna pada pembaca dalam hal…”. Silakan saja pilih yang mana. Bahasa formal tidak berurusan dengan bunyi. Bunyi itu hidup di dalam puisi dan bahasa sehari-hari. Bunyi bahasa tentu hanya unsur kecil di atas alunan melodi setiap bahasa. Bunyi puisi dan bahasa sehari-hari “tidak boleh fals”, atau dibuat fals untuk tujuan tertentu seperti lawakan.

Puisi lebih dekat dengan bahasa sehari-hari, bukan bahasa formal seperti karya ilmiah. Namun, karya ilmiah yang baik tentu sadar bunyi. Itu tidak banyak. Dan itu juga tidak terlalu penting. Hanya mereka yang terbiasa membaca puisi, atau punya banyak kenangan pada indahnya bahasa sehari-hari yang bisa “memainkan” bahasa formal, sehingga Anda akan memilih pola <memberi> + <arti> dalam kalimat tadi daripada pola <memberi> + <makna> karena yang pertama bertemu dalam /i/ sedangkan yang kedua tidak.

Hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan mutu karya ilmiah tersebut tentu saja. Sebuah karya ilmiah tidak akan dinilai bermutu karena akurasi bunyi kata-kata, tapi akurasi masalah-teori-metode-kajian-hasil-simpulan, dan dalam konteks negara kita ada juga yang penting: kejujuran, keaslian.

Apakah itu artinya pengarang ilmiah tidak harus belajar pada puisi-puisi?

Tujuan karya ilmiah adalah simpulan: kualitatif simpulan terbuka atau berkembang, kuantitatif simpulan terprediksi atau diluar prediksi, dan mungkin ditambah dengan temuan. Tapi tentu seorang pengarang ilmiah yang peka pada bunyi-bunyi kata akan membuat karya ilmiahnya membahagiakan dia sendiri dan semoga orang lain. Intinya tujuan karya ilmiah bukan dalam rasa, meski itu kajian kualitatif yang bersifat terbuka. Lain halnya jika kita membuat karya ilmiah populer, sangat menimbang konteks pembaca, bahasa menjadi akrab, hangat.

Menurut Anda di mana perjumpaan puisi dan karya ilmiah?

Para penyair, khususnya penyair yang baik, melakukan riset. Oktavio Paz misalnya meriset semangat zaman di belakangnya dan bagaimana ia memahami zamannya sendiri. Puisi-puisi Paz yang berkeping-keping adalah gambaran hasil risetnya: ia melihat dunia betapa luas, maklum ia tidak hanya cukup dengan kampung halaman, tak terikat oleh fokus tertentu, mencari bentuk, tanpa bentuk pasti, gelisah, deskriptif, tapi itulah bentuk.

Begitu sering kita membaca para pemikir kontemporer yang canggung dalam penyebut corak pemikirannya sebagai posmodern. Kecanggungan itu adalah bentuk juga, bentuk sementara, yang akan menjadi jelas setelah tidak canggung.

Puisi itu bahkan bentuknya pun merefleksikan hasil riset, baik riset sederhana maupun riset yang gemilang macam Paz yang ia buktikan melalui esai-esai gemilangnya itu. Menarik kiranya kalau kita mengenang kalimat Paz Tapi malam ini tak ada ruang untuk satu kata lagi. Kalimat ini mengisyaratkan riset paling gemilang sekalipun belum cukup untuk puisi. Puisi bisa menolak hasil riset! Atau, puisi saja belum cukup untuk mengatakan hasil riset! Atau, puisi itu belum cukup untuk puisi!

Dan itu artinya puisi punya peluang atau sangat terbuka untuk hal-hal yang tidak terlalu besar macam dunia dalam puisi-puisi Paz. Kita bisa bayangkan puisi sebagai wahana yang lapang sehingga justru yang kecil-kecilan itu yang paling mudah ditampungnya. Namun ini tidak berarti riset kecil-kecilan tidak penting bagi puisi, dan kadang-kadang penyair-penyair tertentu mengecilkan tema-tema besar dan membesarkan tema-tema kecil. Perang, misalnya, adalah isu besar, tapi di tangan penyair bisa dikecilkan. Ia tidak harus hadir sebagai dentuman meriam, tapi bisa saja terselip dalam percakapan di meja makan, atau dalam bahasa rindu yang meminjam perang itu. Dengan baik Agus R Sarjono, misalnya, mengatakan Kurindukan ranjau dan peluru pelukmu,/ bom dan roket sentuhanmu. Dalam konteks apa Sarjono mengatakan hal itu? Puisi “Malam Hanoi” itu mengisahkan dua remaja yang sedang dibakar gairah cinta dan seakan cinta mereka itu bisa menghapus jejak sejarah. Hanoi pernah mengalami penjajahan Perancis dan Jepang, bukan? Kita tahu itu karena Sarjono menerangkan perubahan Hanoi: kini di mana-mana papan reklame dan segala tektek-bengek kehidupan kota modern yang dilukiskannya dengan benda-benda di pertokoan seperti tv, oven, mobil-mobil, telpon genggam, yang membuat aku lirik bertanya apakah benar semua itu kebahagiaan yang dicita-citakan. Dan karena puisi ini dimuat dalam kumpulan perjalanan di negeri orang maka saya menduga kerinduan aku lirik pada bau tubuhmu yang tak henti memanggil menunjuk ke negara asal penyair yang membuat aku lirik itu. Aku lirik ingin memproklamirkan lagi kemerdekaan di negerinya: biar bisa kuproklamirkan lagi/ sebuah negeri merdeka.

Maka saya tidak hendak mengatakan besar dan kecilnya riset penyair itu berbanding lurus selalu dengan bentuk, tapi pengecilan sejarah besar macam perang adalah pengecilan metodis agar bisa masuk pada luasnya puisi yang kadang-kadang tidak cukup dimasuki satu kata sekalipun seperti dikeluhkan Paz. Strategi puitik itu penting untuk tetap menjadikan puisi sebagai wahana yang jauh lebih lentur ketimbang karya ilmiah. Tak mungkin Anda membicarakan sejarah Hanoi dalam skripsi dengan cara Sarjono membuat puisi tersebut. Anda tidak akan punya keluasan alternatif pengucapan riset dalam karya ilmiah.

Saya hanya pernah membaca bahwa beberapa ilmuwan gemilang dunia menggemari puisi. Entah mereka menjadi gemilang atau bertambah gemilang karena mereka membaca puisi, entah memang pada dasarnya mereka adalah para ilmuwan gemilang yang kemudian mengagumi para penyair gemilang. Biasanya para gemilang memang mengalami perjumpaan apa pun bidang mereka masing-masing. Gus Baha itu kiyai gemilang dan ia membaca pikiran-pikrian gemilang. Ciri kegemilangan malah sederhana dan tak terduga. Suatu hari beliau mengatakan kepada Najwa Shihab bahwa menghapal Quran itu “Ya, asik saja.” Keserderhaaan ini seperti Sarjono membicarakan perang tadi, seakan ingin mengatakan “Yang penting bukan perang lagi kini, tapi Hanoi hari ini yang sedang memerangi kesepian, kehampaan, kehilangan bahagia, kehilangan cengkrama dengan diri mereka sendiri, yang kalau kita teruskan mungkin lebih ngeri dari perang melawan Perancis dan Jepang.

Maka, Paz mungkin sama besar dengan Newton dalam urusannya masing-masing. Malah saya berpikir lebih lain: Paz membaca gejala-gejala pemikiran kompleks yang disebabkan sains-modernis, sedangkan para saintis modernis mungkin saja tidak. Paz bisa mewajibkan diri untuk membaca filsafat ilmu, misal, tapi para ilmuwan bisa saja tidak merasa penting membaca hal yang sama. Ilmu seorang ilmuwan biasa di garis keilmuwannya, sedangkan ilmu seorang penyair tak ada garisnya. Penyair perlu membaca dunia secara keseluruhan, ilmuwan tidak harus. Dengan kata lain mereka tidak pernah mengalami perjumpaan seimbang. Agama, pasar, politik, sains, filsafat, sastra itu sendiri, puisi itu sendiri, adalah bagian dari urusan para penyair yang baik. Hingga penyair muda macam Willy Fahmi Agiska, masih juga berurusan dengan puisi itu apa. “Jika Aku Tak Menulis Puisi” menjelaskan hubungan penyair dan fungsi puisi. Jika aku tak menulis puisi
/aku merasa tak berada di mana-mana/seperti udara –jika tak menyentuh apa-apa.  Ia juga bertanya lebih jauh dan mengandung humor: Tuhan, kenapa puisi cuma/ hiburan bagi sepi semata? dalam “Epidemi Dingin”.[1]

Sekarang mungkin berkaitan dengan Anda sendiri. Apa sumbangan puisi dan sains bagi Anda?

Saya melihat dunia dengan beragam persepsi. Air adalah zat kimia karena pernah sekolah di jurusan Biologi waktu SMA. Air itu mengalir dari atas ke bawah karena begitulah hukum fisika. Dan sains tidak kompleks, sains memberi tahu saja. Lebih dari sekadar hukum, sains menginspirasi saya dalam membaca logika alam. Air bisa mengerakkan turbin dan turbin menghasilkan listrik. Begitulah logika sains. Air membeku dalam suhu tertentu. Air mendidih karena panas. Puisi kemudian memberi tambahan lain yang tidak sekadar tambahan. Puisi menambah persepsi itu dengan keluasan. Di tangan Sapardi Djoko Damono air itu melenting dari genting, mericik, ricik itu seperti obrolan, obrolan itu seperti tetes, tetes itu seperti sepi, sepi itu seperti sungai, sungai itu menuju selokan, selokan itu membawa kita ke laut, laut itu maut, dan seterusnya, dan seterusnya. Puisi tidak mengatakan air untuk berhenti sebagai kata atau apa yang dikandungnya, apa manfaatnya, tapi dunia. Kita bisa belajar pada fenomena penamaan kopi belakangan yang sangat bergairah. Kopi tidak sekadar minuman, tapi juga kata-kata dan kata-kata membangun dunia. “Kopi Kenangan”, “Kopi Lain Hati” adalah contoh yang mengubah persepsi kita terhadap kopi. Fungsi puisi bagi saya dan para pembaca puisi lain adalah mengubah dunia yang awalnya hanya nama atau hanya itu-itu saja. Kopi itu hitam, pahit, identik dengan laki-laki misalnya. Lahirnya kata-kata dalam merek dagang kopi memperluas daya jangkau kopi sehingga ia diminati juga oleh para perempuan dan bahkan para remaja SMP dan SMA yang di zaman saya ketuaan untuk minum kopi. Puisi itu menambah daya jangkau dan tugas sains juga mesti demikian.

Baik. Terima kasih.

[1] Kedua kutipan diambil dari Willy Fahmi Agiska, Mencatat Demam: 22 Puisi Pilihan
, Ciamis: Kentja Press, 2018, pemenang sayembara buku puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2019. Willy saya bahas juga dalam esai “Jalan Setapak Umat Ibrahim”.

***

Arip Senjaya, dosen filsafat dan sastra di FKIP Untirta. Mengarang sejumlah buku teks, novel, kumpulan-kumpulan esai, cerpen, puisi-puisi berbahasa Indonesia dan Sunda, artikel-artikel ilmiah, dimuat di berbagai media ternama serta jurnal bereputasi. Email: aripsjy@gmail.com/aripsjy@untirta.co.id, tlp./wa 081905188292

 

2 komentar pada “JALAN SETAPAK UMAT IBRAHIM: Bagian 11

  • Juni 29, 2022 pada 12:07 pm
    Permalink

    Apakah lerbedaan puisi dengan panji sakti

    Balas
  • Juli 1, 2022 pada 5:06 pm
    Permalink

    Puisi itu teks jenis puisi, kalau Panji Sakti masuknya ke jenis prosa

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *