JALAN SETAPAK UMAT IBRAHIM: Bagian 5
Fungsi Paradoks dalam Ilmu
Oleh Arip Senjaya
Dalam sebuah buku yang sangat baik, apa saja buku itu, kita sebenarnya dapat memetik hal-hal yang tidak dimaksudkan buku tersebut, termasuk dalam cara buku-buku itu menjelaskan apa itu ilmu dan apa itu pengetahuan tanpa disadari penulisnya. Tidak hanya buku bahkan, kita dapat pula menyerap penjelasan-penjelasan tak langsung itu dari beragam fenomena lain seperti nyanyian, sebuah pantun, sebuah lukisan, sebuah kota, sebuah pasar, apa pun. Saya mengira pada apa pun produk manusia —dan manusia yang dimaksud adalah manusia dalam arti jamak, bukan seorang pengarang atau individu lainnya yang bekerja sendiri, terdapat ilmu dan pengetahuan yang melatarinya.
Esai ini akan membicarakan ilmu, pengetahuan, dan kaitannya dengan politik perbedaan dan terakhir membicarakan paradoks yang membedakan ilmu dan politik berdasarkan sebuah kasus menarik dalam teologi Islam yang didiskusikan oleh Muhammad Abed Al-Jabiri dalam buku Kritik Wacana Teologi Islam (2019).
Ilmu dan pengetahuan
Sejauh ini saya sering mengira bahwa pengetahuan itu merupakan produk ilmu-ilmu, termasuk tentu di dalamnya ilmu filsafat dan ini akan menjadi jelimet manakala filsafat masih disebut “ibunya ilmu” hingga terasa janggal mungkin istilah “ilmu” dalam “ilmu filsafat” tersebut. Tapi mari kita coba dengarkan salah satu kutipan berikut untuk memulai dengan ilmu terlebih dahulu:
Perihal waktu munculnya istilah ilmu kalam, kami tidak mengetahui secara mendetail. Namun, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Syahrastani, dalam hal waktu kemunculannya telah melahirkan jarak waktu yang panjang, yang memisahkan antara permulaan kalam dengan munculnya istilah ilmu kalam.[1]
Berdasarkan kutipan tersebut kita dapat belajar memahami apa itu ilmu menurut Al-Jabiri, yakni yang diawali oleh permulaan ilmu, dalam hal yang dicontohkan adalah ilmu kalam. Dalam contoh kasus tersebut kalam mengalami masa permulaan kalam dan lalu menjadilah ilmu kalam. Dengan kata lain, ilmu adalah sesuatu yang datang belakangan.
Dalam beberapa kuliah umum para pakar ilmu yang saya kenal, biasanya mereka memulai pencarian ilmu dari rasa cinta atau takjub terhadap sesuatu, lalu mereka memiliki ilmu sesuatu itu. Ibu Nana[2] punya kecintaan dan ketakjuban yang lebih dari kita terhadap benda-benda di luar angkasa, maka ia belajar astronomi, fisika, kosmologi, dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan alam raya. Kecintaan, ketakjuban, dapat disebut pra ilmu. Tapi mungkin lebih tepat lagi disebut pra-pra ilmu sebab pra ilmu untuk astronomi mungkin fisika atau geografi dan fisika serta geografi sendiri memiliki pra ilmunya masing-masing. Yang jelas, sebelum menjadi ilmu setiap ilmu memasuki tahapan pra atau pra-pra (dalam arti sebelum pra).
Ada orang awalnya mencintai matematika, lalu jatuh cinta lagi pada fisika dan akhirnya menjadi fisikawan; pada kasus ini matematika dapat disebut pra ilmu bagi fisikawan tersebut. Saya sendiri dulu mencintai matematika dan sains, lalu terlibat jauh dengan imaji-imaji matematis dan akhirnya malah menekuni seni sastra dan teater di saat S1, lalu mencintai matematika dan sains lagi ketika kuliah di jurusan Ilmu Filsafat; maka matematika dan sains adalah pra ilmu saya dalam mendalami imaji-imaji seni dan yang terakhir ditambah yang pertama menjadi pra ilmu lagi untuk ilmu filsafat. Kelihatannya kalau kita berpikir dengan cara seperti itu, ilmu adalah sebuah hubungan-hubungan melulu dan tiada akhir.
Jadi, kapan ilmu akan berakhir? Yakni ketika ilmu menjelma pengetahuan, kita biasanya menyebut dengan “ilmu pengetahuan” tapi lebih tepat disebut pengetahuan ilmiah. Untuk hal ini mari kita teruskan kepada pendapat Al-Jabiri kembali.
Pemberian nama terhadap sejumlah ilmu pengetahuan sebenarnya hadir belakangan, yaitu ketika ilmu-ilmu tersebut perlu diberikan bab-bab, aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan deskripsi-deskripsi.[3]
Kutipan tersebut mengimplikasikan pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang menjadikan ilmu-ilmu dihentikan dari prosesnya yang tadi saya sebut tiada akhir (dari pra ke pra lagi). Adanya bab-bab, aturan-aturan, kaidah-kaidah, deskripsi-deskripsi, menandakan adanya ilmu yang sudah dihentikan dan jadilah ia pengetahuan ilmiah.
Contoh sederhana adalah ketika saya pertama kali membaca buku Persiapan Seorang Aktor karya Konstantin Stanislavski, terjemahan Asrul Sani[4]. Tiba-tiba teater sebagai proses yang memabukkan saya, membuat saya tiada berbatas ilmu [formal teater], menjadi terbatas. Ilmu tidak hanya membatasi dirinya, tetapi juga membatasi ruang gerak pembacanya. Teater tidak lagi membebaskan saya, tetapi mengatur saya setelah saya membaca buku tersebut. Teater adalah sebuah kaidah, sebuah aturan, dan penjelasan teoretik.
Tentu pemahaman tersebut terjadi saat saya belum terkena fajar filsafat, dan masih belajar ilmu sastra atau teater dan memandang Stanislavski itu benar atau ilmu itu benar dan berteater tidak bisa sebebas teater tanpa ilmu. Kini saya tentu tidak berpikir seperti itu lagi, bagi saya Stanislavski tidak harus menghentikan saya dan seharusnya saya meneruskannya. Waktu itu pun segera saya membaca pikiran-pikiran alternatif yang bisa membebaskan saya dari ilmu teater Stanislavski, dan tibalah saya pada Bertold Brecht sehingga skripsi saya dengan berapi-api membahas pemikiran Brecht dalam penyutradraan[5]. Dan kekaguman saya pada Brecht menjadikan saya terhenti juga beberapa lama seakan Brecht “lebih ilmu pengetahuan” daripada Stanislavski dan Stanislavski pra ilmu belaka untuk menuju pengetahuan teater Brechtian. Sangat konyol!
Karena saya terus membaca maka saya segera lepas juga dari rasa kagum itu dan akhirnya merasa tidak pantas untuk jadi pengagum karena kekaguman pada dasarnya gambaran kita tidak mengambil jalur ketakhentian. Filsafat ilmu membicarakan ketakhentian ilmu, juga pengetahuan ilmiah itu sendiri.
Baik, mari kita dengar lagi pendapat Al-Jabiri berikut ini.
Setelah meringkas perkembangan perbedaan pendapat pada Washil bin Atha’ dan Umar bin Ubaid, Asyahrastani menjadikan sikap “i’tizal” (mengasingkan diri) sebagai mazhab, sebagaimana akan kita lihat nanti. Ia melanjutkan bahwa pada masa selanjutnya tokoh (syekh) Mu’tazilah mempelajari buku-buku filsafat yang berkembang pada masa Al-Mamun. Sementara, metode filsafat mengalami percampuran dengan metode ilmu kalam. Setelah itu, mereka memilah ilmu dan menyebutnya sebagai kalam.[6]
Kutipan tersebut dapat diambil analoginya pada ilmu filsafat di satu sisi dan filsafat di sisi lainnya. Ketika kita menyebut ilmu filsafat maka di dalamnya terdapat metode-metode keilmufilsafatan (dalam kutipan tersebut hanya disebut metode filsafat), tapi ketika kita menyebutnya dengan filsafat saja maka filsafat telah menjelma sebagai pengetahuan. Pada titik ini pengetahuan tidak lagi identik dengan ilmu, dan pengetahuan menyiratkan kemapanan serta keterbebasan sesuatu yang semula dibangunnya melalui metode-metode ilmiah.
Dengan cara yang sederhana kita tidak lagi menyebut ilmu pembangunan rumah tembok, misal, jika yang kita hadapi adalah sebuah rumah tembok. Sebelum saya membuat rumah, saya mempelajari berbagai ilmu kerumahan, dari mulai desain-desain rumah, ukuran, ketinggian, bahan, teknik pondasi dan pengecoran, pembuangan limbah, hingga tatainterior dan warna-warna pada bagian-bagian rumah. Tapi setelah menjadi rumah saya tidak lagi bicara tentang tektek-bengek kerumahan itu, karena sudah menjadi rumah.
Politik perbedaan
Al-Jabiri dengan sangat mudah menjelaskan hal berikut, dan anggap saja kutipan ini sebagai penguat dari analogi yang saya jelaskan di atas.
permulaan kalam dan filsafat dalam Islam itu bertolak pada sejarah perbedaan… terkait dengan munculnya perbedaan, yaitu kemunculan pendapat-pendapat yang berbeda. Dengan demikian, ilmu kalam muncul bersamaan dengan munculnya perbedaan.[7]
Selanjutnya Al-Jabiri menjelaskan seperti berikut:
Setelah masalah menjadi jelas dan definitif, perbincangan mengenai ilmu kalam mulai mengambil bentuk metode dan kerangka mazhab, lalu statemen-statemen pemikiran mulai matang dan akhirnya meningkat pada level pengetahuan. Artinya, ia menerima adanya bab-bab dan susunan-susunan yang sistematis. Hal ini terjadi setelah lepas dari masalah “politik” yang mengemuka.[8]
Dengan kata lain, ilmu-ilmu muncul karena perbedaan-perbedaan. Makin banyak penjelasan ilmiah tentang sesuatu, misalnya tentang puisi, maka itu artinya banyak perbedaan pendapat mengenai puisi. Semakin sepi perbedaan pandangan tentang puisi semakin sepi pula ilmu puisi. Dapat dibayangkan bahwa dengan demikian pengetahuan identik dengan kesepian atau kematian ilmu itu sendiri. Jika dalam beberapa tahun ini di Indonesia tidak bermunculan buku-buku seputar puisi, itu artinya telah terjadi kematian perbedaan tentang puisi dan puisi sudah tidak berilmu lagi atau telah menjelma sebagai pengetahuan.
Mengapa Al-Jabiri menyebutkan “setelah lepas dari masalah ‘politik’ yang mengemuka”? Karena “politik” adalah biangkerok perbedaan, dan tanpa perbedaan tiadalah politik. Tapi dengan demikian ilmu sangat ditentukan oleh kondisi politik dan politik dengan demikian sangat penting bagi lahirnya ilmu dan kelak pengetahuan!
Mari kita bayangkan ada “politik puisi”! Sekelompok penyair mengatakan puisi yang baik harus berdasarkan riset dan karena itu perlu memberikan penjelasan dengan catatan kaki pada hal-hal yang diambil dari riset. Catatan kaki adalah salah satu ciri tradisi riset (karena kalau diberi catatan perut, larik-larik puisi akan terganggu oleh tanda kurung, sumber, tahun, halaman). Kelompok ini muncul dengan tujuan menciptakan perbedaan dengan dan sekaligus menolak puisi-puisi yang ditulis tanpa ciri riset. Kelompok lainnya berpendapat bahwa puisi memang merupakan hasil riset dan riset tidak terbatas pada data yang dapat dijelaskan dengan catatan kaki, seperti riset yang dialami tubuh penyair sendiri (mengantuk, lapar, tidur, rindu, bingung adalah contoh pengalaman tubuh ragawi). Kelompok lainnya mengatakan bahwa puisi tak mesti jelas, sejauh puisi tersebut dipahami penyairnya sendiri (katakanlah ini aliran politik licentia poetica ekstrem) maka syahlah ia sebagai puisi. Ada pula yang terus berjuang agar puisi bicara sendiri dan pembaca bebas membicarakan puisi apa pun. Dan masih ada banyak lagi perbedaan pandangan lain yang dengan demikian puisi adalah politik perbedaan dan politik perbedaan inilah yang menjadikannya ilmu puisi. Ilmu = politik perbedaan.
Lalu masing-masing kelompok ini menulis artikel, esai, buku-buku, berceramah, seminar, dan melakukan apa saja untuk membeda-bedakan diri. Ilmu dalam tahap ini sangat baik sebaik politik yang digambarkan oleh banyaknya logo partai. Dalam cara pandang sebaliknya pun sama, partai-partai tentu hanya dimungkinkan oleh adanya ilmu yang mereka perjuangkan sebagai beda dengan partai-partai lainnya. Ketika tujuan tercapai, partai pemenang memenangkan pertarungan dan partai-partai lain bergabung dengan partai pemenang, perbedaan pun hilang dan ilmu tak ada lagi, yang ada adalah partai politik sebagai pengetahuan.
Tentu itu lazim terjadi dalam politik [praktis] yang sebenarnya, tetapi di dalam politik ilmu percampuran kekuasaan ini tidak lazim. Ilmu-ilmu biasanya saling mengadopsi untuk saling mengembangkan atau saling mengkritik lagi baik secara paradoks (misalnya menggunakan metode yang dikritiknya) maupun tidak secara paradoks, karena tujuan ilmu sebenarnya mencapai kesempurnaan ilmu dan —mengapa harus? — menjadi pengetahuan tanpa perbedaan-perbedaan lagi.
Paradoks ilmu dan politik
Waktu saya jadi pelajar, matematika adalah pengetahuan, karena guru-guru matematika tidak membicarakan perdebatan dari perbedaan pendapat tentang matematika sehingga 2 X 2 entah mengapa selalu saja 4. Itu sebabnya saya banting setir ke bidang sastra karena saya menyukai ilmu dan sastra memberi saya perbedaan dan perbedaan saja (saya berhutang kepada guru sastra saya saat SMA di SMAN Cicalengka, Tedi Gunawan). Terlebih ketika saya belajar filsafat, filsafat adalah tentang perbedaan-perbedaan saja. Karena itu studi filsafat yang membicarakan perbedaan-perbedaan disebut ilmu filsafat (lihat kembali pertanyaan saya di paragraf kedua esai ini).
Apa itu saling kritik secara paradoks? Kita bisa belajar pada kasus Mazhab Mu’tazilah yang menurut Ibu Rusyd mengkritik Mazhab Asy’ari dengan menggunakan metode Mazhab Asy’ari juga sebagaimana tampak pada penjelasan Al-Jabari berikut.
Dan, beragam metode yang ditempul Mazhab Asy’ari juga dianggap sama dengan metode yang ditempuh Mazhab Mu’tazilah. Maksud kami, metode Mazhab Asy’ari juga menjadi dasar bagi Mazhab Mu’tazilah. Terlebih, pada waktu itu, Mazhab Asy’ari benar-benar menghegemoni dan menjadi sandaran penyelamatan akidah mereka.[9]
Paradoks ini kelihatannya tidak disengaja karena “pada waktu itu, Mazhab Asy’ari benar-benar menghegemoni dan menjadi sandaran penyelamatan akidah mereka”, sehingga ini mengisyaratkan adanya ketakterhindaran medotologis bagi Mazhab Mu’tazilah dalam melakukan kritik terhadap Mazhab Asy’ari. Tapi mungkinkan sebuah kritik terjadi dengan memadai jika metode kritiknya sendiri merupakan metode yang dipakai oleh yang dikritiknya? Inilah contoh paradoks dalam asimilasi ilmu dan mungkin tak terhindarkan oleh mereka yang terlalu terhegemoni tadi.
Dalam contoh analogi politik puisi tadi misalnya, untuk terbebas dari paradoks, kelompok yang antiriset tidak boleh menyerang kelompok riset dengan meriset puisi-puisi yang tidak memanfaatkan riset, karena cara tersebut menunjukkan mereka menolak riset dengan tradisi riset. Semoga Anda sudah mengerti apa itu paradoks dengan dua kasus tersebut.
Dan mungkin sebagian besar ahli filsafat ilmu atau filosof ilmu itu sendiri melihat paradoks sebagai bukti dari kegagalan ilmu dalam menyiapkan dirinya sebagai pengetahuan. Tapi bagi saya, ilmu bukan politik praktis yang berbeda dalam pertarungan dan lalu menjadi sama dalam kekuasaan. Perbedaan dalam ilmu yang kemudian tak dapat menghindari paradoks itu bukan kegagalan, tapi ketidakcermatan semata.
Dalam sebuah paradoks ilmu, tentu masih ada ilmu, sehingga kritik ilmu yang paradoks sebenarnya sedang mendukung ilmu yang dikritiknya, tapi tidak disadari. Mungkin. Sedangkan politik praktis tentu dilakukan dengan sadar dan tak perlu rasa gagal atau malu. Dalam politik praktis tidak ada paradoks. ***
[1] Garis bawah dari saya, dikutip dari buku Kritik Wacana Teologi Islam, Muhammad Abed Al-Jabiri, terj. Aksim Wijaya, 2019, Yogyakarta: IRCiSoD, hal. 20.
[2] Ibu Nana juga saya singgung di esai “Ruang Samar Makhluk”.
[3] Al-Jabiri, ibid., garis bawah dari saya, hal. 19.
[4] Diterbitkan di Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
[5] Ditulis tahun 2002 untuk menempuh kelulusan S1 UPI; judul lengkap Verfremdungseffekt Bertold Brecht dan Pemanfaatannya untuk Penyutradaraan Dramatisasi Puisi W.S. Rendra “Mencari Bapa”.
[6] Al-Jabiri, ibid., garis bawah dari saya, hal. 22.
[7] Ibid., h. 22.
[8] Ibid., h. 22, garis bawah dari saya.
[9] Ibid., h. 16.
.