JALAN SETAPAK UMAT IBRAHIM: Bagian 6

Foto Dok Penulis

Penjumlahan-Pengurangan Puisi Sitor

Oleh Arip Senjaya | Dosen Sastra dan Filsafat Untirta

JADI, pada waktu saya SMA, saya membaca puisi “Catatan Tahun 53” karya Sitor Situmorang dalam kumpulan sajak Dalam Sajak (1982). Dalam puisi tersebut ada kata gema, batu termangu, deskripsi air yang menitik satu-satu (mungkin menitik ke batu termangu itu), suasana gelap disebabkan aku lirik menyebut Dalam gua, kemudian ada keterangan tentang cahaya dari luar (tentu dari luar gua maksudnya) yang lebih sendiri dari kita. Saya menafsirkan puisi tanpa titimangsa tersebut sebagai puisi tentang ulang tahun Sitor yang ke-53 atau tentang tahun 1953. Andai saja ia bertitimangsa, saya bisa mengurangi tahun titimangsa dengan tahun kelahiran Sitor untuk membuktikannya.

Tentu saja penting mengira itu ulang tahunnya karena saya memandang tahun kelahiran serta umur sebagai hal yang patut direnungkan. Anda pun pasti sepakat bahwa membaca puisi adalah membaca diri kita masing-masing melalui pengalaman penyair.

Mari kita simak terlebih dahulu sebelum lebih jauh kita membicarakannya.

 

CATATAN TAHUN 53

 Dalam gua berseru
Hanya gema bertalu-talu

Batu termangu
(Menitik air satu-satu)

Mari diam duduk lelap
Berkisah dalam gelap

Tentang hidup dan ia yang lupa
(Cahaya di luar lebih sendiri dari kita)[1]

 

Puisi ini terkesan murung dan mengubah persepsi saya dari dua puisi Sitor yang paling saya sukai saat itu “Matinya Juara Tinju” dan “Lagu Gadis Itali”. Puisi pertama mengisahkan lucu dan tragisnya seorang jawara, puisi kedua tentang lucu dan lebaynya bahasa rindu sepasang kekasih yang diutarakan dengan gaya pantun dengan latar bukit Itali, teluk Napoli, sebuah gereja, kebun anggur, serta salju saat gugur. Sangat indah dan menggemaskan.

Maka, sampai kini saya tidak tahu apakah puisi atau buku kumpulan puisi harus dipahami dalam konteks keseluruhan, sebagian, atau sebagian-dari-sebagian? Menurut saya semuanya atau masing masing-masing oke-oke saja, dan apa pun caranya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang tidak oke adalah yang tidak membaca puisi saja.

Pada saat tertentu saya merasa tidak boleh mencampuradukkan puisi Sitor satu dengan puisi Sitor lainnya karena saya punya kepentingan dengan kelucuan bahasa cinta, misalnya, tapi jika saya menginginkan tema kompleksnya hidup maka saya harus membaca lebih lengkap atau keseluruhan. Tapi cara yang macam itu malah membingungkan. Karena itu, menurut saya sebuah kajian sebaiknya memberlakukan “keseluruhan yang terbatas”, dalam arti membaca puisi-puisi dengan tema-tema sejenis saja. Ada kelompok puisi Sitor yang lucu (“Lagu Gadis Itali” dan yang sejenisnya), ada kelompok puisi Sitor yang tragis (“Matinya Juara Tinju” dan sejenisnya), ada pula kelompok puisi Sitor yang murung hampa makna macam “Catatan Tahun 53”.

 

Foto dari ceknricek.com

Puisi dan sains

Tapi kali ini saya ingin berbagi cerita tentang masa SMA saya, bagaimana saya pernah mendiskusikan puisi Sitor dari sudut pandang seorang pelajar sains. Sains tertarik dengan ide-ide keseluruhan dan juga ide-ide sebagian kenyataan.

Sains mengajari saya memandang dunia ini sebagai suatu yang padu, utuh, sehingga membicarakan yang satu adalah tentang yang lainnya. Saya belajar teori pasangan-pasangan proton-elektor dan bagaimana semua itu menjadi sebab terdasar bagi terciptanya molekul dan bagaimana dari molekul-molekul menciptakan zat atau benda-benda. Dengan kata lain, membicarakan sebagian-dari-sebagian sebuah puisi juga penting untuk memahami unsur sebagian itu sendiri, dan memahami unsur sebagian juga penting untuk memahami keseluruhannya.

Puisi “Catatan Tahun 53” itu menyebut beberapa kata yang berhubungan sekali dengan fisika—gema, batu termangu, air metitik, cahaya, dan saya segera sadar bahwa ternyata puisi tersebut tidak sekadar membicarakan fenomena fisika, tapi bahwa kita (mungkin maksudnya adalah aku penyair dan aku-liriknya sendiri) adalah bagian dari kenyataan fisika. Objektivisme tentu mengajarkan keterpisahan subjek manusia dan objek yang diamatinya, tapi puisi ini justru mencampurkannya. Semua benda yang disebut oleh kita di dalam puisi tersebut adalah benda mati dan aku lirik-tersembunyi menyeru mari diam duduk lelap seakan dengan itu pembaca pun diajaknya untuk diam dan duduk lelap juga sehingga bisa “mati” macam benda-benda mati di dalamnya.

Foto: www.berdikarionline.com

Dan begitulah yang saya rasakan atau saya lakukan, diam, duduk, lelap. Lalu terasalah yang hidup adalah yang awalnya mati: gua dalam puisi itu adalah ruang yang tidak mengizinkan gema bersuara lain kecuali bertalu-talu; batu yang termangu itu pun seakan berbicara dengan air atau air berbicara kepada batu, bahkan cahaya di luar gua yang dilukiskan lebih sendiri dari kita tiba-tiba bukan lagi cahaya dalam definisi fisika, tapi dalam definisi makhluk bernyawa macam manusia; sedangkan diam dan duduk lelap itu sendiri Sitor bilang untuk mendengarkan kisah dalam gelap sehingga terjadilah kontras gua (yang gelapnya tidak digambarkan kecuali oleh tekanan Berkisah dalam gelap) dengan cahaya.

Kontras itu sendiri—yang implisit dalam puisi ini—merupakan fenomena fisika (biasa disimbolkan negatif “-” karena berlawanan). Lagi-lagi latar pengalaman dasar keilmuwan saya tidak bisa lepas dari pengalaman-pengalaman pertama saya menekuni puisi. Hal ini berlangsung sampai sekarang, dan saya tidak tahu apakah Sitor menulis dengan kesadaran fisika atau itu terjadi kebetulan.

Yang jelas, ketika saya kuliah S1 sering ada lelucon macam ini: (a) “Kamu jurusan apa?” (b) “Saya jurusan teknik sastra!”, seolah-olah bahwa dunia sastra tidak ada hubungannya dengak teknik. Jurusan teknik sebagai terapan sains macam fisika memang pada praktik kuliah-kuliahnya tidak mengenal sastra dan sebaliknya pun sastra tidak belajar teori dasar sains. Tapi menurut saya lelucon tersebut merugikan sains dan puisi itu sendiri. Sebagai lulusan SMA-sains saya menghargai puisi sebagai pengalaman persentuhan intim manusia/penyair dengan kenyataan-kenyataan yang dibicarakan fisika dan menghargai fisika sebagai salah satu ilmu dasar untuk memahami realitas fisik. Apabila lelucon ini terus diwariskan sampai kini, maka itu tandanya masing-masing pihak tidak saling mengenal ilmu dan tidak mengenal hakikat ilmu itu sendiri yang satu dengan lainnya saling menjalin dan saling menguatkan.

Penjumlahan

Selain kontras, saya juga mengenal tingkatan sifat dalam fisika—ditandai dengan simbol “+”—yang menurut saya dilakukan Sitor dalam menggambarkan gua di satu sisi dan menggambarkan diam berkisah dalam gelap di sisi lainnya. Dua gambaran ini dapat dijumlahkan sebagai dua entitas yang saling menambahkan karena sifatnya yang sama: gelap (meskipun aku lirik tidak menyebut guanya itu gelap). Tapi di sisi lain saya melihat juga bahwa gua yang dimaksud aku lirik adalah gua pada dirinya sendiri sehingga tidak terjadi penjumlahan itu: batu, air, gema, semua memang ada dalam gua kedirian aku lirik semata.

Mana yang benar? Saya tidak tahu. Kalau berdasarkan keadaan puisi itu sendiri, saya memilih yang benar yang terakhir bahwa gua itu hanya metafor untuk rasa gelap aku lirik memahami hidup. Rasa gelap ini kemudian dijumlahkan dengan ia yang lupa sehingga tercipta kesetaraan atau penjumlahan satu sifat:

 

lupa=gelap=gua/gua+gelap+lupa

 

Kesetaraan mengandung makna masing-masing sama, tapi saya lebih suka jika itu berarti penjumlahan sehingga gua tidak cukup, gelap pun belum, dan lupa masih kurang, dan hanya dengan memahami ketiganya secara serempak maka kita akan sampai pada makna paling dalam, yakni yang ingin dikatakan oleh ketiga unsur tersebut yang saling menambahkan.

Begitu kalau saya memahami puisi tersebut melalui hukum penambahan sifat. Entahlah Anda seperti apa.

Dengan modal memahami sebagian itu lantas saya mengerti bahwa berbagai puisi yang saya pernah saya baca, baik dari Sitor maupun dari lainnya sebenarnya memanfaatkan pola penjumlahan atau pengontrasan. Kontras yang tadi saya katakan ditandai dengan negatif dalam puisi ini dimunculkan pada Cahaya di luar [yang] lebih sendiri dari kita. Fungsi kontras di sini menurut saya untuk menguatkan hal-hal yang tadi dijumlah-jumlahkan sehingga ia tidak mengurangi makna kegelapan di dalamnya. Hitam dengan latar putih, sebagai contoh, tentu lebih kuat ketimbang hitam dengan latar coklat.

Praktik penulisan puisi rupanya tidak sekadar berhubungan dengan realitas fisik, tetapi sedikit-banyak berhubungan dengan logika fisika itu sediri. Maka, mungkin baik bagi para penyair belajar fisika dan sebaliknya pun sama. Para pelajar dan mahasiswa dan guru dan dosen tentu harus belajar keduanya dengan lebih baik. ***

 

[1] Dikutip dari Sitor Situmorang, Dalam Sajak, Bandung: Putaka Jaya, 1982, h. 55.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *