JALAN SETAPAK UMAT IBRAHIM: Bagian 7

Foto Dok Penulis

Subagio itu Benar, Iwan juga

Oleh Arip Senjaya | Dosen Sastra dan Filsafat Untirta

Ketika saya SMA saya membaca novel Iwan Simatupang Ziarah dan saya tertawa-tawa melihat komiknya tokoh-tokoh di dalam novel itu. Tapi ketika saya kuliah, novel itu sering dibicarakan dosen dan para senior sebagai novel eksistensialis atau novel absurd. Saya tidak punya kesempatan untuk mengatakan novel tersebut “komikis”, karena saya junior dan junior tidak punya otoritas.

Dalam kesempatan lain, saya ikut-ikutan tidak menyebut mantera lagi kepada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri karena menurut Ajip Rosidi mantera itu tidak ditulis[1]. Ajip tiba-tiba punya otoritas padahal beliau bukan dosen atau senior saya. Pembaca kadang adalah korban otoritas buku-buku.

Tapi saya tidak pertama-tama mengenal Sutardji melalui bacaan, wahai Pak Ajip, melainkan karena guru bahasa Indonesia saya waktu SMA membacakan puisi-puisi dalam O Amuk Kapak itu di kelas dalam nuansa suara-suara cekam, pukau, dan sesekali seakan tengah kerasukan arwah. Maka pada saat itu saya merasakan mantera melalui suara, bukan membaca mantera melalui tulisan. Bahwa kemudian saya pun bisa memiliki buku tersebut dan bisa membacanya, saya tetap menyebutnya mantera—lebih tepatnya mantera modern, karena ia kini disuarakan buku dengan ingatan yang selalu gemilang pada guru SMA saya itu.

Lagi pula kalau mantera dan bukan mantera dibatasi oleh ditulis atau tidak, kita terlalu meletakkan pengertian terhadap sesuatu dalam batasan historis. Ubi bakar di saat saya kecil dibakar dalam sekam, kemudian saya mengenal ubi bakar yang dimatangkan open kompor minyak, kemudian kompor minyak berganti menjadi kompor gas, dan kini dengan open listrik; apakah kemudian ubi bakar harus berganti-ganti nama menjadi ubi open minyak, ubi open gas, dan terakhir ubi ubi open listrik? Bahkan dibakar sekam itu esensinya adalah dipanaskan dan demikian juga diopen itu dipanaskan, tidak pernah sama sekali ubi itu dibakar dengan kobaran api.

Begitulah kira-kira saya bertanya-tanya, tapi saya tidak berbunyi karena saya junior, dan begitu banyak orang menghormati Pak Ajip di kampus saya dulu meski saya tahu mereka tidak membaca buku-buku Pak Ajip dengan sungguh-sungguh, baik teman-teman sastra Indonesia maupun sastra Sunda, apalagi sastra Inggris dan sastra asing. Maksud saya, membicarakan Ajip saat itu mesti hati-hati, salah-salah saya bisa dianggap menghina orang Sunda yang mereka cintai secara buta. Cinta buta itu lebih otoriter daripada ilmu itu sendiri.

Jadi, bagaimana caranya agar saya selaku mahasiswa waktu itu bisa merdeka membaca sastra, semerdeka saya mendapatkan pengalaman pertama membaca novel “komikis” Iwan dan mendengarkan Pak Tedi menampilkan mantera Sutardji di masa saya SMA?

Caranya ternyata tidak ada! Karena saya dituntut untuk jadi peneliti, baik dalam karya-karya tugas maupun dalam karya-karya tulis ujian tengah dan akhir semester, dan peneliti waktu itu adalah seorang yang harus objektif! Dan objektivitas itu memperlakukan teks sastra sebagai apa adanya.

Dan apakah ini benar? Mungkinkah kita memperlakukan sastra sebagai apa adanya? Tidak! Benar-benar tidak! Tanpa ada “otoritas samar” yang memaksa saya untuk bekerja secara struktural, saya tidak akan ikut-ikutan bicara sastra secara objektif-struktural. “Otoritas samar” itu tidak bersubjek tunggal, tetapi menjadi semangat kolektif akademik saat itu.

Maka perasaan-perasaan saya pun hilang gara-gara objektivitas. Rasa haru, rasa gemetar, rasa was-was, rasa ngilu, rasa cemas, rasa cinta, rasa gemas, rasa bahagia, rasa heran, rasa dungu, rasa kacau, fantasi, rasa jenius, semua hilang. Saya merasa kehilangan semua perasaan dan mungkin sejak itu saya tidak lagi boleh menjadi manusia utuh, hanya boleh punya rasionalitas (bahkan universalitas!) tanpa perasaan lagi.

Perasaan itu tidak objektif! Perasaan itu tidak ilmiah! Oke, tapi bukankah sastra membicarakan perasaan dan terasa? Ya, itu subjektivitas Saudara saja! Pengarang sudah mati, dan kini Saudara menghidupkannya lagi dengan perasaan Saudara!

Tapi kemudian ada pula perluasan doktrin “pengarang sudah mati” itu pada intertekstualitas sehingga kami bisa leluasa mencari relasi-relasi teks satu dengan teks lainnya. Teori yang terkenal dalam hal ini adalah “teks tidak lahir dari kekosongan”. Apakah intertekstualitas itu pun jadi angin segar buat kembalinya perasaan-perasaan saya? Ah, tidak sama sekali! Teks yang terjalin dengan teks lain tak lebih dari suatu tinjauan historis dalam batas eksplisit atau implisit, tanpa pengarang dan perasaan yang diizinkan. Kalau saya menangis membaca novel-novel Hamka, jangan harap tangisan saya bisa saya kisahkan di dalam tugas atau kertas ujian saya. Jangankan Hamka sebagai pengarang, saya sendiri pun sudah mati kalau begitu, karena jika saya hidup saya harusnya bisa mengisahkan tangisan saya.

Lalu seorang dosen calon doktor saat itu memperkenalkan teori baru Reader Response yang ia bawa dari Amerika atau Australia, karena ia pernah kuliah di Amerika dan pernah jalan-jalan di Australia. Bukan main saya senang, inilah saatnya saya sebagai reader boleh memberikan response! Begitu saya berharap.

Tapi ternyata sama saja. Teori baru ini bahkan menghendaki saya bekerja secara statistik! Pembaca adalah subjek-subjek dalam kelompok tertentu, usia tertentu, tingkat pendidikan tertentu, jenis kelamin tertentu; pembaca adalah sebuah satuan-satuan kelompok, tak ada individu, tak ada perasaan orang per orang. Tak ada pembaca pada kelompok-kelompok perasaan tertentu. Lagi pula mana bisa perasaan dikelompok-kelompokkan.

Maka, kelak, di ujung S1 itu, skripsi saya tak mau bicara novel, puisi, cerpen, atau drama, karena saya sering terharu, saya memilih bicara konsep penyutradaraan Berthold Brecht saja, sebuah pelarian yang jauh sekali. Hal ini untuk membebaskan saya dari perasaan dan lebih dekat pada pemikiran dan teknis penyutradaraan. Saya harus membunuh perasaan saya. Saya pun lulus tanpa perasaan sebagai bagian dari kaum objektivis!

Dan akhirnya saya pulang kampung dengan perasaan macam dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Puisi ini benar-benar saya alami selaku ilmu paling nyata, atau paling saya benarkan.

 karena lama tak pulang
rumah di kampung tampak asing

juga pohon di kebun
dan rumput
seperti tumbuh di alam lain

o, tetaplah bermata kelana
melihat dunia pada hari pertama
tergamit oleh nyanyi[2]

 

Seorang pensiunan guru di kampung saya tiba-tiba mengajak saya membicarakan novel-novel Hamka yang pernah dibacanya dan menangislah ia di teras rumahnya. Ibu saya sendiri masih saja bercerita tentang kisah-kisah dalam komik wayang yang pernah dibacanya di masa pacaran dengan seorang calon dokter: wayang dan kekasihnya dulu bagai dunia yang tak terpisahkan. Di rumah bibi-bibi saya, para bibi masih juga mengenangkan lucunya dan bermaknanya kisah-kisah dalam majalah Sunda Si Kuncung seakan-akan mereka sendirilah yang mengalami kisah-kisah itu. Sementara saya rasanya tidak lagi mengalami semua itu: tangis tak boleh, cinta itu tak berasa, kelucuan itu tak menghidupkan kenangan, karena saya kini sudah jadi sarjana.

Setiap orang yang tahu saya sarjana bidang bahasa dan sastra, mereka akan mengisahkan hubungan-hubungan manusiawi mereka dengan bacaan-bacaan itu, dan mereka berharap saya pun merasakan hal yang sama. Sayang sekali, saya sudah kehilangan perasaan, dan harapan mereka tinggal harapan belaka. Saya adalah orang asing di kampung saya sendiri. Saya adalah alam lain yang tumbuh di alam kelahiran saya.

Saya pun berusaha membuka-buka surat-surat H.B. Jassin demi mencari perasaan beliau, apakah beliau ada punya rasa, punya kemerdekaan yang pernah saya rasakan saat SMA, atau membaca hanya urusan pekerjaan sebagai redaktur dan kritikus? Dan ketemulah surat-surat yang macam ini:

 

Kepada Riyoko Praktikno

                                                             Jakarta, 8 Agustus 1949

Merdeka,

Cerita Saudara telah saya terima dengan baik dan sudah pula saya baca dengan senang hati. Penuh humor yang menyedihkan tentang orang kecil yang mau besar…[3]

Jassin bilang ia senang hati, ia juga merasakan humor yang menyedihkan, dan Jassin adalah seorang dengan ilmu tinggi saat itu. Ilmu dia tidak menghalangi bunyi perasaan dia.

Dan mungkin yang lebih tepat lagi dengan situasi saya waktu itu adalah surat Jassin untuk Subagio Sastrowardoyo yang salah satu puisinya tadi sangat saya alami.

Kepada Subagio Sastrowardoyo

25 Juni 1957

 

Saudara Subagio,

Dalam studi saya kadang-kadang kuatir akan kehilangan sama sekali kesegaran fantasi yang toh sudah tidak begitu banyak pada saya, karena keringnya cara-cara pemikiran keilmuwan. Sebab itu saya jadi ragu-ragu sesudah selesai apakah akan segera memulai disertasi ataukah kembali aktif dalam dunia kritik sastra dulu beberapa waktu.[4]

Jadi, yang membuat fantasi itu tidak segar lagi adalah karena dikeringkan cara-cara ilmu sastra bekerja, dan itu artinya kekeringan rasa ini sudah dimulai pula sejak Jassin kuliah. Jassin bertanya pula kepada dirinya sendiri apakah sebaiknya ia melanjutkan studinya, menulis disertasi, atau kembali aktif jadi kritikus sastra; berarti ia memandang jadi kritikus itu lebih punya rasa atau dalam bahasa dia sendiri tidak akan kehilangan kesegaran fantasi. Dengan ini pula ia memisahkan praktik kritik dengan praktik ilmu.

Lalu untuk apa beberapa ahli ilmu sastra meletakkan kritik sebagai cabang dari ilmu sastra, selain teori sastra dan sejarah sastra. Ilmu yang saya alami di perguruan tinggi identik dengan teori saja dan teori menjadi otoritas dan otoritas dalam bentuk apa pun bersifat antikritik, atau berlari dari kritik, atau menganggapnya tidak ada, sehingga teori sastra menjadi satu-satunya pusat otoritas akademik yang menurunkan metode-metode tanpa kritik dalam kajian-kajian ilmiah itu. Teori-teori itu tinggal pakai saja: salin-tempel-jelaskan-gunakan! Dengan kata lain, kritik sastra—karena mengandung perasaan—digeser perlahan atau tidak dianggap sebagai bagian dari ilmu sastra. Ilmu sastra akhirnya bersih dari perasaan dan identik dengan teori-teori sastra semata, dikembangkan dari rasionalitas yang kadang-kadang diklaim sebagai hal yang universal itu.

Mana mungkin subjektivitas di satu sisi dapat ditakar oleh objektivitas di sisi lainnya, apalagi otoritas akademik hanya menerima objektivitas. Jangakan mengukur subjektivitas dengan objektivitas, sebenarnya antarobjektivitas-rasional sendiri tidak bisa saling ukur. Kita dapat belajar pada kasus mekanika klasik dan relativitas. Yang pertama mengatakan dunia ini merupakan objek-objek fisik yang memiliki bentuk, volume, dan massa yang eksis, sedangkan yang kedua tidak lagi menganggap semua itu eksis sebab dialihkan pada isu relasi antarobjek. Ketika dua bidang ini dipakai untuk mengobservasi objek yang sama, maka hasilnya akan berbeda. Jadi, di dalam sejarah objektivitas, jangankan perasaan yang mereka tolak, tapi objektivitas yang sudah tidak lagi “objektif” pun mereka tolak.

Tak usahlah kita bicara perasaan di lembaga-lembaga akademik memang, perasaan hanya milik manusia. Manusia macam apa? Tentu yang saya maksud adalah manusia yang dalam keterasingan tetap bermata kelana/melihat dunia pada hari pertama. Seperti sudah saya katakan, puisi itu benar dan nyata, dan ilmu itu tidak saya alami kecuali sebagai omong-kosong otoritatif yang harus diikuti jika mau lulus jadi sarjana. Selain Subagio, Iwan juga benar: kesarjanaan itu sebenarnya komik yang patut ditertawakan!***

 

[1] Dalam esai saya “Jalan Setapak Umat Ibrahim” saya masih menyebut mantera untuk puisi Sutardji, meskipun menurut Ajip Rosidi tidak. Silakan dibaca perdebatan Ajip dan Umar Junus dalam tema tipografi Sutardji dalam “Mantera dan Puisi yang Mantera” h. 275-294 buku Ajip Rosidi, Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan, 1995, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

[2] Lebih lengkap lihat puisi ini di Subagio Sastrowardoyo, Dan Kematian Makin Akrab, ibid. h. 79.

[3] H.B. Jassin, Surat-Surat 1943-1983, 1984, Jakarta: Gramedia, h. 58.

[4] Ibid., h. 133.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *