SEKOLAH BUKAN PENJARA

Catatan SMANSA
Oleh Kang Warsa

Pernah merasa jenuh dan bosan saat di dalam kelas? Setiap siswa sudah pasti merasakannya. Di tahun 1997, saat Saya memerankan kehidupan sebagai salah seorang pelajar di SMANSA pun demikian. Teman-teman dan hampir semua siswa mengalami ini. Padahal, sekolah bukanlah penjara, namun kenapa banyak anak merasa bosan berada di dalam kelas, apalagi jika mata pelajaran yang sedang diberikan oleh para guru itu; Fisika, Matematika, dan Kimia. Satu jam pelajaran dirasakan seminggu lamanya.

Di tahun 90-an, ketika media elektronik seperti televisi mulai menjamur. Tayangan-tayangan iklan di televisi sering dijadikan tutur dalam hidup. Saat diumumkan, sekolah dibubarkan karena para guru akan menyelenggarakan rapat, mayoritas siswa meneriakkan: Bebass, Euy!. Kita masih mengingat kalimat ini diucapkan oleh Kang Ibing saat sembuh dari sakit kepala setelah minum salah satu obat sakit kepala.
Para siswa bukan main bahagia ketika sekolah dibubarkan sebelum sampai jam pelajaran terakhir. Atau, mereka akan sangat bahagia ketika diumumkan: karena besok ada rapat di sekolah, maka sekolah diliburkan. Saya dan beberapa teman sempat meneriakkan kata: Yesss!
Kenapa demikian? Ini menandakan, sekolah memang telah menjadi ‘penjara’ bagi para siswa, karena sistem dan pola pendidikan yang diberikan oleh pihak sekolah teramat kaku, menakutkan, dan tidak bersahabat.

Bisa dibayangkan: pukul 7.00 WIB para siswa harus sudah berada di sekolah, karena pukul 07.10 WIB gerbang sudah ditutup, jika kesiangan, mereka akan memasuki sekolah dengan cara menaiki benteng di belakang sekolah. Saya pernah mengalami ini, sebab ketika tetap menunggu di depan gerbang, gerbang tidak kunjung dibuka, saya malahan disebut siswa aneh. Belum lagi kemacetan di jalan, pada tahun itu juga, manusia seolah memburu sesuatu sepagi mungkin, tumpah ruah ke jalanan, jalan-jalan melahap hampir 30% penduduk Kota Sukabumi.
Awalan kurang baik bagi mayoritas siswa dengan kondisi seperti ini. Saat memasuki sekolah dalam kondisi memburu dan diburu waktu. Tidak ada ketenangan, maka ketika di dalam kelas pun, psikologi mereka memberontak ingin keluar dari tekanan. Pelampiasannya pergi ke lapang basket, duduk di kantin, atau pulang belum waktunya. Saat diumumkan sekolah pulang lebih awal, semua siswa bersorak, gembira.
Jam pelajaran Akuntansi, hari Senin di bulan Januari 1997. Seorang siswa berkata.
“Menurut kelas sebelah, Pak Ajat tidak ada. Kita pulang saja!” Katanya.
Mulanya ragu, ini pasti informasi tidak valid.
Namun, hampir seluruh siswa kelas 2.1 bersorak gembira, membereskan buku-buku, mengambil tas, tanpa berdoa atau pamit kepada siapa pun, 35 siswa kecuali 5 orang siswa pulang. Bahagia bukan main hari itu. Saya dan teman-teman bisa menghirup udara segar setelah beberapa jam dicecar oleh pelajaran Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris di dalam ruang kelas bertembok tua dan dingin.
Ini sebetulnya persoalan klasik dalam dunia pendidikan. Bukan hanya di sekolah, di pengajian pun, ketika guru ngaji berhalangan hadir, anak-anak bukan main gembira, keluar dari mesjid berhamburan seperti ayam di lepas dari dalam kandang. Celaka, persoalan klasik ini berbuntut panjang. Satu minggu kemudian, Pak Ajat masuk ke dalam kelas, beliau berkata:

“Kalian pulang saja! Seperti Senin lalu. Bapak tidak akan mengajar lagi di kelas ini.” Katanya sambil keluar.
Kontan, anak-anak tidak ada yang keluar, diam saja, sambil saling tatap.
“Senin lalu, Pak Ajat itu ada… !”
Gaduh saling menyalahkan, informasi berasal dari seorang temanku tersebut memang tidak valid. Informasi yang sangat tidak dipercaya, gumam beberapa teman. Ketua kelas tenang saja, kemudian pergi ke ruang guru akan melobi guru Akuntansi. Ya, ada juga temanku yang berkata, “Kok, guru pundungan gitu, ya?”

Hasil lobi ketua kelas tetap sama. Tekad baja Pak Ajat sebanding dengan semangat juang para pahlawan sebelum negara ini merdeka. Beliau tetap pada keputusannya, tidak akan masuk kelas 2.1 lagi selama satu semester. Bisa dibayangkan, jadi apa nantinya kami.
Walhasil, Pak Ajat hanya dua bulan saja tidak masuk kelas 2.1. Kerugian besar bagi saya dan teman-teman. Ada nada ultimatum: “Sepintar apa pun kalian, nilai tetap ditentukan oleh guru!” Ada pula pepatah yang menyebutkan, “Murid tidak akan melebihi kepintaran guru.”
Sekolah bukan sebagai penjara jika sistem dan pola pendidikan tidak terlalu membebani anak didik dengan muatan pelajaran dengan jumlah melebihi kapasitas anak didik. Mereka memiliki porsi sendiri-sendiri, bukan sebuah gelas kosong yang harus diisi oleh berbagai aneka ragam minuman, yang pada akhirnya hanya menghasilkan jenis minuman baru, aneh, dan sulit diberi nama.
Saya tidak bermaksud jika peserta didik harus semau gue dan seenaknya dalam belajar. Namun memberikan ruang gerak bagi psikologi mereka itu hal lebih penting. Bu Rumi, salah seorang guku BK di SMANSA memang pernah berkata kepada Saya waktu itu, “Sekolah bukan milik nenek kalian, jadi jangan seenaknya.!!!”

Pertanyaan saya sederhana, bagaimana jika anak bapak atau ibu guru sendiri yang menjadi korban ketidaktepatan sistem dan pola pendidikan di negara ini?

Dan pada akhirnya keberhasilan belajar -yang saya alami- ditentukan oleh keakraban dan kehangatan sesama warga sekolah. Keakraban antara guru dan siswa. Sikap menghormati guru sebagai perwakilan orangtua kita menjadi kunci ilmu lebih mudah meresap ke dalam diri.
Sekarang, sudah dua dekade lebih, saya mengajar di sekolah. Saat ada siswa yang melakukan tindakan kurang baik, saya selalu tersenyum mengingat tingkah saat di SMANSA dulu. Saya hanya bisa berkata kepada para siswa:
“Kalian adalah cermin hidup bapak saat duduk di bangku sekolah. Kenakalan kalian adalah potret diriku di masa lalu. Tapi, saat suatu hari nanti kalian menjadi guru, jangan marah besar ketika kalian menjumpai siswa nakal. Anggaplah itu cermin kehidupan kalian?”

Kang Warsa, alumni Smansa Kota Sukabumi, dan kini menjadi pendidik di MTs sareng MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Sukabumi, Jabar.

One thought on “SEKOLAH BUKAN PENJARA

  • Juni 21, 2022 pada 10:38 am
    Permalink

    Betul sekali!
    Kalau di SD, guru yang mengejar-ngejar murid ke rumah mereka, supaya mau masuk sekolah, Pak..

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *