SURAT DARI MASA SILAM
Oleh Faudzil Adhiem
Tak ingat percis waktunya, barangkali 11 tahun yang lalu, sekian rumah di Karang Anyar dan GG Kamjan 2 mesti dirobohkan karena berdiri di tanah sengketa. Mendengar kabar itu, kau yang masih bocah buru-buru menghampiri temanmu, dan mengunjungi setiap rumah yang mesti digusur. Tentu, kau tak tahu apa itu tanah sengketa. Yang jelas, kau akan berpisah, menjalani hidup tanpa teman-temanmu lagi. Karena setiap warga disana serupa keluarga. Semua orang, dari yang huisan sampai ingusan bersalam-salaman, berpelukan untuk yang terakhir kali sembari memberikan wejangan agar tidak saling melupakan dan memutuskan kekerabatan.
Di Karang Anyar, berdekatan dengan Cibadak dan masjid Pajagalan, kau dilahirkan, dan dunia kanak-kanakmu tumbuh. Kau dan teman-temanmu saling merawat kasih. Dalam pepatah sunda populer disebutkan: Silih asah, asih jeung asuh. Pernah kau dan teman-temanmu, pergi ke alun-alun Bandung suatu malam, dan berdiam sebentar di dalam masjid Agung. Sial, ketika keluar sendalmu telah hilang. Mulanya kau berpikir bahwa di rumah tuhan, keamanan dan kenyamanan akan terjaga, tetapi kau keliru, sebab bangsat juga manusia, perlu ondredil bagus untuk mempertahankan hidup yang santun tetapi tidak jujur, demikian kata lirik lagu Bagus Dwi Danto.
Sekian dunia kanak-kanakmu dihabiskan di sana: Kau dan teman-temanmu, sering sesepedahan tengah malam, dan di rute pasar baru kala ketemu bondon, kalian akan terkikik-kikik setelah salah satu temanmu menepi dan ngobrol ini-itu dengan maksud ngahereuyan: Kau dan teman-temanmu kerap bermain bola di gang, bersama orang china kaya, si Jahson, yang bapaknya bos grosir besar rokok. Atau pada hari minggu di Tegallega, atau di halaman Masjid Pajagalan ngadu sama santri dari Flores yang mondok di sana. Atau di Gg Kamjan dua mengadu dengan orang-orang katolik, si bool teman sd-mu dan bocah-bocah china kere: Kau dan teman-teman lamamu bermain Ps di rumah si Arel dan salah seorang temanmu ada yang modol di celana, lalu tahinya jatuh ke lantai. Ketika neneknya bertanya, apa itu dilantai, temanmu bilang: itu cokelat, Nek. Kau dan teman-teman lamamu akan diam di satu tempat, ngobrol ini-itu sampai habis waktu. Tetapi seluruh peristiwa dan dunia kanak-kanakmu yang diisi oleh mereka mesti raib, dan kau hanya bisa merindukan itu. Sebuah kerinduan yang tak bisa diulang, dan Pendidikan kehilangan.
Tahun itu, dua lokasi yang digusur, Karang Anyar, dan gg Kamjan dua, tempat musuh main bolamu: Si Bool, Bocah-bocah china kere, dan orang-orang katolik.
Di Karang Anyar jalannya penggusuran lebih kondusif. Hanya sebuah tangisan perpisahan dari teman-temanmu saja.
Hal yang berbeda dengan gg kamjan dua, kau menyaksikan sekian beko meruntuhkan rumah-rumah warga bersilapan dengan tangis, dan amuk warga ke satpol pp. Ada juga warga yang membawa kasur, dan barang-barang. Kalau tak salah ingat, warga disana menolak digusur, dan penggusuran tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Mungkin atas dasar kasih, dan sebuah memori yang mesti dijaga warga GG Kamjan dua melawan, karena mereka sadar bahwa perpisahan adalah hal paling nelangsa dari kehidupan. Atau juga, karena tak ada uang ganti rugi. Tak ingatlah apa percisnya, karena masih bocah. Yang paling melekat adalah tangisan kebersamaan. Ya, sebuah kesedihan mendalam kala melihat si bool yang se-sekolah denganmu di SDN 47 bandung, bocah china musuhmu, katolik dan teman-teman lamamu menangis bersama. Padahal kau tahu, kalian dulu tak pernah akur, bahkan membayangkannya pun tak! Namun, di tengah penderitaan yang sama, etnis, agama, status sosial, dan yang semula kau anggap musuh: akan bersatu, melupakan perbedaan dan menitikan bersama air mata sosial. Kau tahu, kalian bersatu atas dasar nasib sepenanggugan yang sama. Barangkali, begitulah sekarang mestinya. Bukankah orang-orang di Palestina sana melupakan perbedaan agama dan etnis demi hengkangnya penjajah? Bukankah orang-orang dulu melupakan perbedaan agama dan etnis demi hengkangnya Belanda dan Jepang? Kita mesti mengetahui siapa musuh kita sebenarnya, bukan jadi bahan devide at impera golongan atau kekuasaan. Dan, musuh bersama kau dan warga waktu itu adalah kenyataan tentang rumah-rumah yang mesti digusur oleh titah kekuasaan.
Segala paradigma, sifat, dan sikap menjajah, serakah itulah yang mesti ditendang dan cabut dari akar-akar sosial-politik kita!
***
Hanya setahun sekali kau bertemu teman-teman lamamu sekarang, itupun hanya pas momen iedul fitri, yang kurang lebih menghabiskan waktu sekitar dua atau tiga jam, dari 24 jam. Selama dua atau tiga jam itu, kau hanya berbicara kurang lebih tiga puluh menit, dan itupun kekikukan dan canggung yang mengendap. Kau dan teman-teman lamamu serupa terhalang sungai. Kau di sebrang, mereka pun juga. Kalian seperti terasing dari masa silam, sekalipun menyimpan kenangan yang marakayangan.
Bila kau bongkar ingatan. Dahulu sekali, kala ingusmu masih suka keluar, kau akan ditusuk-tusuk rindu, ingin memeluk mereka dan mengatakan: Akankah waktu dan kekinian menciptakan momentum yang telah jadi kenangan? Apakah kenangan bisa diciptakan kembali? Mengapa pertemanan kita fana? Ya, Tuhan… Mengapa kekuasaan tak memikirkan nasib kasih sayang? Mengapa kekuasaan tak berpikir bahwa efek penggusuran bikin persahabatan dan cinta terlantar? Ya Tuhan… Kau tak bisa apa-apa, hanya merenungi puisi Mahmoud Darwish: Aku milik tempat itu. Aku memiliki banyak kenangan. Aku dilahirkan seperti setiap orang.
Maka setiap ada kabar tentang penggusuran, serupa Taman sari, Dago Elos, Anyer Dalam, dan lain-lain kau selalu terlempar pada masa silam, dan merasakan bahwa terlantar dari kenangan sungguh menyakitkan. Rumah bisa dibangun lagi kalau dirobohkan, tetapi memori, kenangan, kasih sayang cenderung tidak. Kenangan dan luka sosial seperti itu, akan mengendap, membikin ketakpercayaan pada kekuasaan selalu hidup, sebab pengalaman seperti kata pepatah, adalah guru terbaik.