Derai Cemara itu, Chairil

Effendi Kadarisman

DERAI CEMARA ITU, CHAIRIL

Tumbuh dari pena yang telah terasah
Ujung cemara itu tajam menusuk langit,
Tanpa melukai
Anginlah yang menyambutnya
Ia pun “menderai sampai jauh”
Meliuk melambai, melewati abad 20

Tumbuh dari mimpi seorang Chairil
Ujung cemara itu menggelitik kata-kata
Geli mengelak. Awan menebar dan
makna berserak
Kau dan aku tergugah
Kau dan aku menggubah
Berayun-ayun di ujung cemara itu
Menahan sepi, menggapai puisi

Setelah lengkap satu abad,
Cinta siapakah yang berbiak menjadi
lautan sajak—
Hutan kata-kata. Rimbun,
hijau subur tak pernah tertidur
Tumbuh angkuh dalam mimpimu
Sulur bergelayutan sepanjang imajinasi
“Puisikan aku, puisikan aku …”
Tak henti suara itu memanggilku

“Derai-derai Cemara” itu, Chairil
Napas angin, gelombang angan-angan
Berburu sunyi
Di seberang kenangan

Malang, 14 Juni 2022

Bionarasi Penulis
Effendi Kadarisman mendapatkan gelar Ph.D. di bidang linguistik dari Univeristas Hawai tahun 1999, dengan menulis disertasi Wedding Narratives as Verbal Art Performance: Explorations in Javanese Poetics. Selain menekuni linguistik, ia juga mencintai puisi, dan telah menerbitkan empat antologi pribadi. Antologi puisinya Selembar Daun Hening (2020) berhasil masuk 15 besar pada lomba Hari Puisi Indonesia tahun 2021. Sejumlah puisinya masuk dalam antologi puisi bersama, antara lain: Seribu Tahun Lagi (2021), Dunia: Suara Penyair Mencatat Ingatan (2022), Minyak Goreng Memanggil (2022), dan Jazirah Sebelas (2022). Saat ini Effendi adalah guru besar linguistik dan pakar etnopuitika pada Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA).

No. WA: 081 331 452 486
Alamat: Jl. Danau Buyan G7F/17 Malang 65139

 

17 komentar pada “Derai Cemara itu, Chairil

  • Juli 1, 2022 pada 2:52 pm
    Permalink

    Seperti merasakan kembali kehadiran Chairil Anwar dalam puisi ini. Saya bukanlah orang yang pandai dalam mengapresiasi puisi, tapi saya bisa merasakan ada kehidupan didalam puisi-puisi Pak Effendy. Barisan kata nya sangat menggugah. Derai-derai cemara kembali digugah dalam puisi ini, kembali diangkat untuk mengenang 100 tahun penulisnya.
    Puisi Pak Effendy benar-benar enak untuk dinikmati, membuat kenyang..
    Luar biasa..

    Balas
    • Juli 2, 2022 pada 12:45 am
      Permalink

      Sebuah gambaran tentang sosok maestr,chairil yang sangat indah, membawa kita ke zamanya dan memahami kebesaran sang maestro melalui rangkaian kata2 yg bermakna

      Balas
  • Juli 1, 2022 pada 3:24 pm
    Permalink

    Sajak-sajak Pak Effendi selalu indah. Sehat selalu dan teruslah menginspirasi Pak.

    Balas
    • Juli 2, 2022 pada 12:46 am
      Permalink

      Sebuah gambaran tentang sosok maestr,chairil yang sangat indah, membawa kita ke zamanya dan memahami kebesaran sang maestro melalui rangkaian kata2 yg bermakna

      Balas
  • Juli 1, 2022 pada 3:58 pm
    Permalink

    Saya suka cara pak Efendi memilih kata dalam menulis puisi misalnya kata ” Sulur” dan “menggelayut” . Walaupun saya tidak tahu arti sesungguhnya tapi saya bisa meraba dan merasa makna itu

    Balas
  • Juli 1, 2022 pada 4:12 pm
    Permalink

    Saya suka dengan cara pak Effendi dalam memilih kata dalam menulis puisi seperti kata “sulur” dan “menggelayut”. Walaupun saya tidak tahu artinya tapi saya bisa meraba dan merasakan apa makna kata tersebut.

    Balas
    • Juli 2, 2022 pada 11:51 am
      Permalink

      Selalu terhanyut dengan puisi indah Mas Effendi Kadarisman. Menghadirkan kembali relung perenungan sang Maestro “Aku ini binatang jalang”…. Membawa kita memaknai derai jajaran cemara kehidupan sebelum penyerahan…. Bravo Mas Effendi

      Balas
  • Juli 1, 2022 pada 7:33 pm
    Permalink

    puisi puisi Pak Effendi selalu indah dan sarat makna. terus berkarya Prof.

    Balas
  • Juli 1, 2022 pada 7:34 pm
    Permalink

    puisi puisi Pak Effendi selalu indah dan sarat makna.

    Balas
  • Juli 1, 2022 pada 11:51 pm
    Permalink

    Luar biasa, guru saya Pak Effendi! 👍👍

    Balas
  • Juli 2, 2022 pada 12:52 am
    Permalink

    Puisi yang sangat eksotis dari Pak Effendi dalam mengenang 100th karya Chairil Anwar. Personifikasi yang digunakan sarat makna tapi tetap mudah dicerna.

    Balas
  • Juli 2, 2022 pada 1:04 pm
    Permalink

    MasyaAllah, bagus sekali puisi yang ini. Favorit saya:
    “Setelah lengkap satu abad,
    Cinta siapakah yang berbiak menjadi
    lautan sajak—”
    Indah sekali pilihan katanya. Sehat selalu Pak..

    Balas
  • Juli 2, 2022 pada 1:12 pm
    Permalink

    Bagus sekali puisinya..kata-kata yg indah dan penuh makna

    Balas
  • Juli 7, 2022 pada 6:50 am
    Permalink

    “Cinta yang berbiak menjadi lautan sajak”–
    Sungguh sebuah puisi yang sarat personifikasi yang sangat menggugah dan penuh makna.

    Sungguh, sebuah puisi yang sarat inspirasi

    Balas
  • Pingback: Bionarasi 100 Penulis Terbaik pada Lomba Cipta Puisi 100th Chairil Anwar, Bagian I – Jurdik.id

  • Pingback: 100 PUISI TERBAIK LOMBA CIPTA PUISI 100THN CHAIRIL ANWAR – Jurdik.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *