Aku Tak Percaya

Oleh Wawan Hermawan | Pendidik SDN 2 Cibinong, Purwakarta

Aku tak percaya soal persahabatan, kenapa? Aku muak dengan kata-kata itu. Alasannya? Entahlah! Aku anggap dirimu bukan siapa-siapa lagi dalam hidupku. Melebihi kasihku pada keluarga sendiri, bahkan lebih. Karena sikapmu itu sangat mem-pesona dan memikat untuk terus bersimpati. Kenapa aku tidak membalasmu dengan penuh? Dari mulai keuangan, soal nominal tak hitungan denganmu. Berkorban waktu, tenaga sudah menjadi hal biasa, membantu, memberi solusi, menasehati, dan saling menjaga diri.

Apakah karena aku sangat polos atau entahlah yang ada dalam benakmu itu, kamu tega melakukan semuanya padaku. Jangan berfikir aku culas padamu, kawan. Oh tidak! Tidak sama sekali, buang jauh-jauh pikiran picik itu, aku tak memiliki sifat demikian. Bagiku persahabatan itu jauh lebih berharga melebihi segalanya. Apa pun keadaannya suka atau pun duka aku tak akan meninggalkan kawan dalam persahabatan.

Segila-gilanya aku, tidak mungkin tega mengkhianati dan culas padamu, menyakiti baik fisik dan perasaan, menjegal kawan seiring, menggunting dalam lipatan, ternyata itu tidak berlaku bagimu terhadapku.

Tempo hari aku mengalami cerita yang sangat menyayat-nyayat, rasaku seolah tak berbentuk, aku coba hapus dalam ingatku, tapi tetap masih berbekas dan bahkan sudah mulai berkarat. Sudah menjadi lembaran historis hidup ini. Suroso hanya mengangguk-angguk, menyimak dengan khusyu.

Menceritakan pada Iqbal dan Suroso, ungkapku dalam kesempatan kali ini, bukanlah munafik atas apa yang telah aku lakukan.

“Soal pertemanan, sangat berharga  bagiku, tidak bisa dibeli dengan sejumlah kepingan rupiah, bahkan sebongkah berlian.”

Aku narasikan ini semua pada mereka berdua, bukanku menyesal dari semua perjuangan membantu meringankan beban-nya.

“Tidak sama sekali, terbersit bahkan terpikir aku dirugikan.” aku meyakinkan yang hadir. Bahkan aku bersyukur dapat melakukan semua itu. Hanya ada yang mulai menghilang dari esensi itu. Soal apa? soal kepercayaan dan pengorbanan, kian memudar dariku.

Semua peluhku, tentu bukanlah untuk diganti sejumlah nominal, yang kau anggap sebuah kesenangan, tapi nilai pertemanan dan pengorbanan tadi, jauh akan lebih dikenang sepanjang hayat, itulah tujuanku pada waktu itu. Terlepas orang memandang dalam perspektif yang mana.

Oke, aku tak bisa memberimu sejumlah uang, untuk menuntaskan segala perkaramu itu, tapi ingat, segala ikhtiar yang aku lakukan tempo hari, kiranya akan menjadikan dirimu bisa bernapas agak lega dan bisa membuatmu tidur nyenyak, karena sebelumnya dirundung resah.

Entahlah, sudah sangat silam, empat belas tahun lalu, apakah kamu masih ingat semua itu? Aku enggak yakin, kamu  masih mengingatnya lagi. Belajar bagaimana ikhlas meringankan sesak di dada kawan satu ini. Berat, sangat berat, berat sekali.

Menemui orang-orang penting, yang dianggap mampu meringankan bebannya, aku tempuh. Kadang harus sampai larut, tak masalah bagiku. Sekali pun sebelumnya aku belum pernah berurusan dengan mereka-mereka ini, harapku agar segala badainya cepat berlalu, harus menemui keluarganya nan jauh di negeri antah berantah aku juga lakukan, padahal sebelumnya tak pernah berkunjung.

Itu pun bukan masalah bagiku, sekali pun harus nyasar. Seperti pada perjalanan ke Tasik dulu dalam perjalanan yang sama, karena menemui seseorang yang juga dianggap akan bisa memberikan solusi atas segala masalah yang dialaminya, pulang malam bahkan sangat larut sekali pukul dua dini hari aku masih di bis jurusan Bekasi – Tasik.

Sepulang dari orang yang dianggap penting itu, aku sampai di terminal Baranangsiang menjelang larut, perutku mulai minta diisi, riuhnya aktifitas di terminal seolah siang hari kesana kemari masih lalu lalang, sesuai tujuannya masing-masing.

Maka aku coba merapatkan diri ke tempat angkringan pinggir jalan. Aku mulai menepi, menunya cukup menggoda, membuat air liurku meleleh, menyajikan masakan-masakan khas lamongan kesukaanku, menu ayam goreng, tahu tempe bacem plus lalaban dan sambel itu menu favoritku ditambah segelas teh panas lengkap sudah, sudah harganya relative murah, tidak terlalu dalam merogoh kocek, pikirku.

Sejenak aku beristirahat sambil menikmati riuhnya terminal dan dinginnya kota Bogor yang semakin menusuk kulit dan pori-poriku, sebatang rokok kretek Sampoerna dan secangkir kopi liong mampu menepis dinginnya malam itu, asap rokok mulai mengepul dari bibirku. setelah semuanya dianggap beres aku melanjutkan perjalanan menuju Cikampek tempat di mana terminal kehidupan-ku bersandar di sana, beristirahat dari segala keluh kesah dan gerahnya kehidupan, tak terasa mata mulai berat, kantuk pun tak bisa dihindari, aku tak sadarkan diri lagi, tertidur pulas sekali, di bis menuju Cikampek, hingga kondektur membangunkan tepat di tujuan itu.

Padahal malam itu, ada penampilan Cak Nun di kampus tercinta, dan itu hari yang sangat dinantikan, tapi apa boleh dikata, badan terasa lemas sekali, pegal sekujur juga capek karena seharian aku berada di negeri antah barantah. Momen langka itu berlalu begitu saja. Aku relakan. Ya, harus rela, walau sedikit kecewa.

Ini sepenggal kisah yang bisa diambil ibroh bagiku, bukan dari banyaknya pengorbanan yang aku lakukan menjadi menyakitkan. Justru yang aku anggap menyakitkan adalah ketika aku diperlaku-kan teman sangat tidak manusiawi.

Entah, apalah artinya pertemanan, persahabatan dan pengorbanan. Rasanya aku muak dengan semua ini, sudahlah nikmati saja. Hidup ini memang kejam, tidak ada sahabat, tidak ada pertemanan, pengorbanan atas nama teman hari ini tidak berlaku lagi.

Setia kawan, toleran, itu hanyalah bualan belaka, yang ada hari ini adalah saling menindas, saling menikung, saling menyimpan rahasia, saling selingkuh di antara keduanya, saling menikam dari belakang. Itulah realita yang ada di lapangan hari ini, penuh sesal, apakah semuanya? Tentu tidak tidak! Entahlah, analisis saja sendiri.

Pengorbanan atas nama kawan, baik waktu tenaga bahkan pikiran dan materi hari ini rasanya hal yang sulit sekali didapatkan dalam dunia nyata, kalau pun ada itu hanya dalam dongeng-dongeng dan cerita tempo hari. Hari ini hanyalah tinggal ceritanya saja. Sebesar apa pun pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran, tidak dijadikan bahan pertimbangan sebagai penghargaan sekali-gus apresiasi pada teman seperjuangan. Kejam, Bro. Lebih kejam dari orang yang belum kita kenal.

Aku sama sekali tak berpikiran apa pun, apalagi harus menyingkirkan dan mendepak, serta menjegalmu. Sungguh tak tega kalau aku berlaku sedemikian culasnya pada kawan yang sudah banyak berkorban dan itu tak akan terjadi.

Sungguh perlakuan tak mengenakan aku dapatkan, aku anggap kamu seia-sekata, manis pahit dijalani secara bersama. Kenyataannya jauh sekali, ya, karena aku tak bisa meraba hati kamu sebagai manusia. Kadang aku tak percaya soal persahabatan itu. Biar aku konsumsi dan jelaskan sendiri, atau silahkan simpulkan masing-masing.

***

WAWAN HERMAWAN demikian nama yang diberikan orang tua, dilahirkan di Purwakarta, mengawali pendidikan formal di SDN V Kembang-kuning (SDN 2 Cibinong Jatiluhur) lalu pindah ke SDN 1 Tajursindang, SMPN 2 Sukatani, SMAN 1 Sukatani, sedangkan S1 diselesaikan di UIN SGD Bandung dan UT UPBJJ Bandung. Kini mengabdi-kan diri di SDN 2 Cibinong, kumpulan cerpen ini merupakan hasil dari corat-coret selama mengisi waktu senggang dari kegiatan mengajar.

Bisa silaturahmi dengan penulis di: No. Hand phone 0819-0946-5534 atau di alamat email: Wawanhermawan0683@gmail.com

Buku Kumpulan Cerpen Besutan Wawan Hermawan yang telah terbit berjuluk AKU, KAMU, DAN YOGYAKARTA terbitan SituSeni.

One thought on “Aku Tak Percaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *