Martabat Bahasa
SAYA membaca puisi-puisi Eko Saptini dalam buku antologi ‘Air Mata Senja’ ini, dan mendapati diksi ‘sirmu’ dalam larik ‘yang patah karena sirmu’. Saya mengira, itu salah ketik atau typo, sehingga saya ubah menjadi ‘yang patah karena sihirmu’. Larik tersebut terdapat dalam puisi berjudul ‘Rupa Warita’. Lagi-lagi saya mengira, ini typo, mungkin maksudnya hendak menulis diksi ‘Wanita.’ Namun saya terbiasa membuka kamus, sehingga saya periksa keabsahan kata warita, dan ternyata ada diksi warita, yang artinya warta atau berita.
Akhirnya saya periksa juga kata ‘sirmu’, ternyata tidak ada. Tapi saya coba periksa kata ‘sir’, ternyata ada dalam kamus, yang salah satu artinya merujuk pada kata ‘nafsu’. Maka koreksian kata sirmu menjadi sihirmu, tidak jadi dilakukan, dan larik tersebut jadi logis secara pemaknaan. Namun, guna memberi petunjuk kepada pembaca, saya kasih tanda hubung (-), sehingga ditulis menjadi sir-mu.
Beberapa judul puisi dalam antologi ini, didedah dengan diksi-diksi yang tak lajim namun ada dalam susunan leksikon. Hal itu, membuat puisi yang ditulis, jadi tampak unik dan menarik perhatian bagi pembaca yang sedang memperkaya pengetahuan vokabulari (kamus). Sekilas terkesan merepotekan, namun di era kamus online ini, membuka kamus bukan masalah besar, ketika pembacaan puisi tersebut dilakukan pada laptop yang terhubung ke internet. Justru pembaca jadi mengetahui makna kata yang asing itu, dan dengan demikian, telah terjadi sosialisasi kata lewat karya tulis.
Saya lebih setuju, para penulis mulai berakrab-ria dengan kamus resmi, guna memperkenalkan lema bahasa Indonesia yang tidak galib bagi masyarakat, sekaligus mencari padanan kata yang tepat, untuk kata-kata ‘asing’ yang kian berseliweran dalam teks-teks berbahasa Indonesia, yang lama-lama bisa mengganggu wibawa serta martabat bahasa Indnesia. Sebuah bangsa menjadi ada, karena keberadaan bahasanya.
Hal yang menarik dari penggunaan kata-kata tak lajim dalam puisi Eko itu, adalah tidak terkesan memaksakan, karena Eko masih terdapat pertimbangan estetika puisi, yaitu pada unsur musikalitas perpuisian. Meskipun unsur musikalitas bukan yang utama dan pertama dalam puisi, namun puisi yang baik, tetaplah ditulis dengan memperhatikan unsur musikalitas, yang sekurang-kurangnya memperhatikan unsur rima (nada) dan ritma (irama), metrum (tekanan). Terlebih lagi, bila puisi itu akan dibacakan atau dideklamasikan dalam panggung, jelaslah bahwa unsur rima dan ritma yang tepat, akan memudahkan si pembaca puisi.
Latar belakang Eko Saptini sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia, serta aktif dalam membina teater sekolah, yang tentunya sering besentuhan dengan teks sastra, terasa benar jejak latar belakang itu pada puisi-puisinya dalam antologi ini. Secara sintaksis (struktur larik), puisi-puisi Eko sangat absah, seperti mengikuti pola-pola puisi yang ditulis para penyair terkemuka di Indonesia, sedari jaman Amir Hamzah. Banyak penulis puisi, terutama dari kalangan pemula dan bukan berlatar belakang pembelajar bahasa, tampak belum menguasai sintaksis, sehingga puisi yang mereka tulis seringkali terasa obscure (rumit) saat dibaca. Sebab puisi telah meminjam bahasa sebagai prosedur ucap atau sarana ungkap, maka penulis puisi wajib belajar ilmu bahasa, agar melahirkan puisi yang bahasanya komunikatif.
Secara keseluruhan, bentuk-bentuk puisi yang ditulis oleh Eko, mengambil corak puisi modern, yang tidak terikat oleh kaidah-kaidah tertentu. Ada satu dua judul puisi yang meminjam pola puisi klasik (pantun), yang terikat pada rima dan ritma, dan puisi tersebut sekalian diberi judul Pantun Rindu 1, Pantun Rindu 2, Pantun Rindu 3.
Catatan editorial ini tidak pelu berpanjang-panjang, biar pembaca bebas berkelana melakukan tafsir dan menikmati tiap puisi yang ada, dan tidak terbingkai oleh batasan yang termaktub dalam catatan editorial.
Namun perlu saya sampaikan, bahwa mengedit puisi itu sanat problematis. Di satu sisi, ada pandangan bahwa jika puisi diedit, berarti karya si penyair sudah tidak utuh lagi. Namun bila ada diksi yang terasa mengganjal, atau tidak tepat maknanya, saya suka menanyakan kepada penyairnya, apa maksud dari diksi ini? Biasanya saya kasih alternatif penggantian diksi, bahkan terkadang perubahan sintaksis, agar larik yang ditulis, terasa komunikatif secara kebahasaan, bahkan bila mungkin, perubahan itu turut memperkuat unsur-unsur puitiknya.
Selanjutnya, guna menambah pengetahuan pembaca, saya kutipkan di sini, beberapa diksi yang tak lajim itu, berikut maknanya yang tertera dalam kamus.
- Umbul (tumbuh subur).
- aso (beristirahat) yang melahirkan kata ngaso.
- celik (terbuka (matanya)), dan dari ini lahir maya buncelik.
- had (batas).
- sir (nafsu).
- langkas (tangkas, gugur).
- tumpat (penuh padat).
- warita (warta, cerita).
- mezanin (tingkat bangunan beratap rendah yang terletak menjorok di antara dua tingkat sebuah gedung).
- pawana (angin).
- bentala (bumi/tanah).
- wana (hutan).
- jaras (berkas, ikat, cekak, keranjang dari tali bambu yang jarang anyamannya).
- hibat (cinta kasih, kasih sayang).
- derana (tahan dan tabah menderita sesuatu, tidak mudah patah hati, putus asa).
- melalah (mengejar, memburu).
- kama (asmara).
- mendada (menangkis dengan dada, menyumbat lawan).
- waskita (terang tiliknya; tajam penglihatan).
Akhir kata, selamat mengapresiasi.
Bandung, 2019.
Doddi Ahmad Fauji
Editor
Puisi Eko dalam antologi Air Mata Senja
MALAM LINDAP
Malam lindap tanpa suar
sabur limbur menyelinap
tinggal sunyi memenjara tubuhku
dalam rengkuhan senyap sejagad
Hidungku menyesap aroma badanmu
yang meruap semisal usia ini
Kau dan aku masih kukuh
bersitatap dalam dekap
Kita memang berkencan
di musim tunggang gunung
Beberapa orang mungkin
cuai sangkala yang berlalu
Namun aku akan terus membilang
sebelum menghilang
Bersamamu merajut kirana hayat
hingga denting akhir bertalu
pada tembang yang menyayat
Tomang, 05 November 2017