SURAT DARI GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT
Oleh Doddi Ahmad Fauji
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan jasa.”

Peribahasa yang pernah diajarkan guru SD, sekira tahun 1980-an paruh pertama, itu terngiang kembali dalam ingatan saya, ketika dikabari oleh kawan Matdon lewat jarpian WA, yen Majlis Sastra Bandung (FSB) akan menunaikan ‘Haol Satu Tahun Tanpa Atasi Amin’, yang mangkat pada 25 Juli 2021. Bertempat di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan No 5 Bandung, haul itu digelar pada 16 Juli 2022, pukul 14.00 hingga pukul 16.30-an WIB, yang merupakan kegiatan berkala MSB, disebut Pengajian Sastra #127.
Nama Atasi Amin sebagai penulis puisi, tidak seterkenal ayahnya, pelukis Jeihan Sukmantoro yang menjadi salah satu ikon dalam dunia rupa. Disebut ikon, harga lukisan mahal gubahan perupa Indonesia, dipelopori oleh Jeihan melalui pameran Dua Pelukis Ekspresionis bersama pelukis senior Soedjojono pada 1987, di Sari Pan Pacific Jakarta. Namun bagi sahabat-sahabatnya dan banyak seniman di Bandung, Atasi bukan hanya dikenal sebagai kalangwan (penulis sajak), lebih dari itu, ia seorang filantrofis yang diam-diam berderma kepada banyak orang. Pada acara haul itu, kesaksian tentang kedermawanan Atasi dituturkan oleh para sahabatnya.

“Banyak hal yang hanya diceritakan ke saya, mungkin ke yang lain tidak. Ada banyak kebaikan Kg Ata yang saya terima. Tololnya, saking panik, ketika menerima kabar Kg Ata meninggal, saya malah pergi ke RS Santosa. Saya hanya bisa menyaksikan orang yang begitu baik dan dekat, dikubur tanpa bisa melihat lagi wajahnya, menyaksikan penguburannya juga dari jauh, dari lantai dua,” kata Ratna M. Rochiman, penyair yang aktif dalam kegiatan MSB, yang hari itu membacakan beberapa puisi Atasi dengan penghayatan penuh.

Hal yang nampak biasa saja, namun justru bermakna sangat dalam, karena menyangkut urusan kemanusiaan, dituturkan oleh musisi Adew Habtsa. Setelah melantunkan musikalisasi puisi yang syairnya diambil dari puisi Atasi, Adew menuturkan, pada suatu acara MSB setelah usia digelar di Studio Jeihan, ia melihat masih banyak makanan. Ia bermaksud mengambil untuk dibawa pulang, dan Atasi melihat hal itu.
“Kg Ata malah memberi saya plastik. Tiap selesai acara, selain ngasih amplop jika saya mengisi acara, Kg Ata selalu menyiapkan plastik untuk saya,” tutur Adew sambil senyum setengah tertawa.
Aktor dan sutradara Gusjur Mahesa menuturkan, ia menerima honor yang cukup besar, karena tahu, ketika pentas di Studio Jeihan, Gusjur memboyong aktor-aktornya dan properti pertunjukan, yang tentu butuh biaya transportasi. “Tapi aneh euy, orang baik selalu dipanggil duluan,” kata Gusjur.
Acara dibuka oleh sambutan dari Ketua MSB, Matdon, yang menturkan, Atasi kerap memberi ruang untuk MSB, kalau tidak di Studio Jeihan, kadang di Bingkai Kopi kawasan Arcamanik, Bandung Timur. “Dan untuk hari ini, MSB juga harus mengucapkan terima kasih kepada KPJ, yang sudah meminjamkan sound system, karena Gedung Indonesia Menggugat ini tidak punya sound system,” kata Matdon.

Gedung Indonesia Menggugat yang legendaris, dulunya adalah bekas Landrad, yaitu Gedung pengadilan di jaman Hindia Belanda, tempat Bung Karno diadili oleh pemerintah Hindia Belanda. Gedung ini sempat menjadi menjadi salah satu museum, yang kemudian di era Presiden Megawati Soekarnoputri, difungsikan sebagai semi museum, dan diberi nama Gedung Indonesia Menggugat. Namun dalam pengelolaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Gedung ini terasa berjarak dengan para aktivis terutama seniman, karena peminjaman GIM yang berokratis dan harus ada artos.
Selain yang disebut di atas, seniman yang ikut tampil berdoa lewat karya seni, adalah Trisno Yuwono, Masgal, Miranti Dewi, Ganjar Noor, Eben Diksiator, Bara Ramadan, Herri Nurdiansyah, Komet Radenroro, Untung Wardojo, dll.
Perupa Isa Perkasa, ahli ‘gem’ Deddy Koral, aktor Rinrin Candraresmi, Priston, dll., hadir untuk ikut mengenang hal-hal baik dari seorang yang baik, yang pergi di saat kurang baik, yaitu datangnya pandemik, dan Atasi ikut terpapar corona.
Pada 24 Juli 2021, Atasi masih mengabari Matdon lewat japrian, ia makin sesak napas dan akan dimasukkan ke ruang ICU. Ia butuh tambahan darah. Sekian seniman memperjuangkannya, dan berhasil. Namun esoknya, kabar yang diterima Matdon ialah kepulangan yang abadi.
Sekian seniman di Bandung, pernah menerima kebaikan yang tulus, tanpa diketahui orang lain. Atasi bukan anak pejabat atau politikus yang membutuhkan pencitraan, sebelum atau setelah wafat. Peristiwa yang terjadi dengannya, tidak butuh diliput, meskipun kebaikannya begitu bermakna bagi yang pernah menerimanya. Atasi memang bukan politisi, dan tidak berpolitik dalam berkesenian.
Saya termasuk orang yang saling mengenang Atasi. Ia mengatakan di depan beberapa sahabat, “Saya bukan penyair. Jikapun disebut penyair, saya diangkat penyair oleh Kang Doddi,” ada sekira dua kali Atasi mengatakan seperti itu di hadapan orang lain, di depan saya juga.
Memang saya pernah memuatkan beberapa judul puisi Atasi di Koran Media Indonesia, sekira tahun 2000-an. Saya bertemu Atasi di Gedung Kesenian Dadaha Tasikmalaya, Jawa Barat, sekira tahun 1999 dalam acara sastra. Ia menyodorkan manuskrip puisi yang dibacakannya malam itu. Saya membawa kertas-kertas manuskrip itu, dan ketika saya periksa di meja kerja, puisi Atasi mengingatkan saya pada puisi-puisi ‘mbeling’ yang pernah marak sekira tahun 1970-1980-an, dengan tokohnya Jeihan Sukmantoro (ayah Atasi), Remy Sylado, Adi Massardi, dll.
Puisi-puisinya yang saya terima, tampak hemat larik, tapi mengandung permenungan yang dalam, menguarkan nuansa kritik menukik, menohok tajam bagi yang merenungkannya.
Misalnya puisi berjudul IMF. Isinya pendek, jika tak persis mohon maaf, tapi kira-kira seperti ini:
IMF
Ajaib, sekali tepuk tangan
Langsung krisis moneter
RUANG
Banyak ruang
Banyak AC
Banyak uang
Banyak ACC
1998
Atasi Amin lahir di Bandung pada 21 Juni 1966. Ia menulis puisi sejak sekolah dasar, dipublikasikan antara lain di Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Jurnal Renung. Juga terdapat dalam antologi Laut Merah (2000) dan Muktamar (2003). Antologi puisi tunggal yang pertama berjuluk Ke Pintu, terbitan Pustaka Latifah. Pada 2017, buku antologi Potret Diri diterbitkan oleh Trubadur, Bandung.
Hal yang mendekatkan saya ke Atasi Amin, adalah ayahnya, Jeihan Sukmantoro. Sekira tahun 1995 saya bertemu Jeihan Sukmantoro untuk pertama kalinya. Nama Jeihan disebutkan oleh Juniarso Ridwan, yang kala itu Kang Yun menjabat ketua Forum Sastra Bandung. Kalau direnungkan lagi, betapa saya lugu dan bikin malu, karena saya menemui Pak Jeihan dengan membawa kado berisi kaligrafi dengan medium pasir dan cat minyak di atas kanvas.

Sehabis Isa saya diterima Pak Jeihan, dan kiranya ditemani Atasi malam itu, tapi kami tidak saling kenal. Saya mengatakan, saya hendak menyampaikan kado untuk Bapak. Pak Jeihan membukanya, dan ia melihat kaligrafi itu. Namun Pak Jeihan memajangnya, dan memberi apresiasi serta mengomentarinya.
“Ta Ta Ta, coba lihat, ini unik, ada nada liar nan estetik di sini,” kira-kira seperti itu komentar Pak Jeihan, pelukis besar yang pada pameran Dua Pelukis Ekspresionis bersama Soedjojo pada 1987, salah satu lukisannya terjual USD50.000, yang setara dengan harga mobil Mercedes terbaru.
Namun dari teknik muncul seperti itu, saya mengemukakan niat hendak pergi ke Australia, untuk mengikuti Festival Teater Kampus di Wolongong University. Pak Jeihan membantu dengan uang, dan beberapa nama yang harus didatangi, di antaranya Kuswa Budiono, Popong Otje Djundjunan, Mohammad Ridlo Easy, termasuk Pak Habibie yang akan meninjau penulisan Mushaf Quran, yang akan dipamerkan dalam Festival Istiqlal 1995.
Tentang keberangkatan saya ke Australia, yang hanya berhasil terdampar di Kota Perth, saya sudah tuturkan sebagiannya. Khusus mengenai Atasi dan Pak Jeihan, dua orang yang berharga dalam hidup saya, tulisan ini adalah semacam ziarah kata-kata, dan akan dilanjutkan dengan ziarah lainnya, juga lewat kata-kata, sambil mengingat yang lalu namun tak sempat dicatat. *