Masyarakat Ramah Anak
Kasus perudungan yang menimpa pelajar difabel yang terjadi di wilayah Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon, mengingatkan kita sebagai warga negara untuk ikut bertanggung jawab serta membangun komitmen bersama menciptakan iklim ramah anak di lingkungan sekitar kita.
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat(2) menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Artinya pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan anak di wilayah Kesatuan Republik Indonesia tanpa kecuali.
Amanat untuk melindungi anak selama mereka berada di semua tempat memerlukan banyak sekali upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua sektor termasuk anak itu sendiri.
Upaya pemerintah di bidang pendidikan untuk melindungi peserta didik selama berada di satuan pendidikan yaitu dengan membuat kebijakan perlindungan anak di satuan pendidikan yang dinamakan Sekolah Ramah Anak (SRA).
SRA harus dapat memastikan bahwa satuan pendidikan mampu mengembangkan minat, bakat dan kemampuan anak serta mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan yang toleran, saling menghormati, dan bekerjasama untuk kemajuan dan semangat perdamaian.
SRA dikembangkan dengan harapan dapat memenuhi hak dan melindungi sepertiga hidup anak (8 jam satu hari) selama mereka berada di satuan pendidikan.
SRA adalah suatu bentuk kerjasama menyeluruh Kementerian/Lembaga dan termasuk Kementerian/Lembaga yang mempunyai program berbasis sekolah secara bersama-sama melindungi anak di satuan pendidikan.
Definisi SRA
Berdasarkan Pedoman Sekolah Ramah Anak (2020) yang disusun oleh Deputi Tumbuh Kembang Anak, Asdep Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan, Kreativitas, dan Budaya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, definisi Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang mampu memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak termasuk mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus di satuan pendidikan.
Konsep SRA
Terdapat empat konsep dalam penerapan sekolah ramah anak di satuan pendidikan. Pertama, mengubah paradigma dari pengajar menjadi pembimbing, orang tua dan sahabat anak. Kedua, orang dewasa memberikan keteladanan dalam keseharian. Ketiga, memastikan orang dewasa di satuan pendidikan terlibat penuh dalam melindungi anak. Keempat, memastikan orang tua dan anak terlibat aktif dalam memenuhi enam komponen SRA.
Prinsip SRA
Prinsip-prinsip pembentukan dan pengembangan SRA merupakan turunan dari hak dasar anak. Prinsip pertama, kepentingan terbaik bagi anak yaitu senantiasa menjadi pertimbangan utama dalam semua keputusan dan tindakan yang diambil oleh pengelola dan penyelenggara pendidikan yang berkaitan dengan anak didik.
Prinsip kedua, nondiskriminasi yaitu menjamin kesempatan setiap anak menikmati hak anak untuk pendidikan tanpa diskriminasi, gender, suku bangsa, agama, dan latar belakang orang tua.
Prinsip ketiga, hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan yaitu menciptakan lingkungan yang menghormati martabat anak dan menjamin perkembangan holistik dan terintegritas setiap anak.
Prinsip keempat, penghormatan terhadap pandangan anak yaitu mencakup penghormatan atas hak anak untuk mengekspresikan padangan dalam segala hal yang mempengaruhi anak di lingkungan sekolah.
Prinsip kelima, pengelolaan yang baik yaitu menjamin transparasi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan informasi, dan supermasi hukum di satuan pendidikan.
Kondisi dan Komponen SRA
Sekolah Ramah Anak diharapkan dapat menciptakan sekolah dengan kondisi Bersih, Asri, Ramah, Indah, Inklusif, Sehat, Aman, dan Nyaman. Untuk itu ada enam komponen yang harus dipenuhi.
Pertama, kebijakan Sekolah Ramah Anak, merupakan suatu komitmen daerah dan sekolah dalam mewujudkan SRA. Ditunjukan dalam bentuk deklarasi, SK Tim SRA, SK Pemerintah daerah dan kebijakan sekolah lainnya yang berperspektif anak.
Kedua, pendidik dan tenaga kependidikan Terlatih Konvensi Hak Anak (KHA) dan SRA, setiap satuan pendidikan yang menerapkan Sekolah Ramah Anak minimal terdapat 2 orang pendidik/tenaga kependidikan yang terlatih KHA dan SRA.
Ketiga, proses belajar yang ramah anak, sekolah menciptakan proses belajar dan mengajar yang menyenangkan. Proses pendisiplinan yang dilakukan tanpa merendahkan martabat anak dan tanpa kekerasan.
Keempat, sarana dan prasarana yang ramah anak, sekolah memastikan menjaga agar sarana dan prasarana di sekolah nyaman, aman dan tidak membahayakan anak. Seperti pemasangan rambu-rambu di tempat berbahaya, penumpulan ujung meja, toilet bersih dengan air mengalir, pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik.
Kelima, partisipasi anak, pelibatan peserta didik dalam kegiatan perencanaan program serta tata tertib, pelaksanaan dan evaluasi SRA. Peserta didik dijadikan sebagai pengawal SRA dan peer educator. Hal ini dilakukan agar peserta didik merasa diakui dan dapat perperan aktif dalam mewujudkan Sekolah Ramah Anak.
Keenam, partisipasi orang tua, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, stakeholder lainnya dan alumni. Satuan pendidikan juga melibatkan orang tua, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, stakeholder dan alumni dalam mendukung sekolah ramah anak, baik berperan memberikan bantuan dalam bentuk sarana maupun kegiatan untuk mewujudkan SRA.
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)
Berdasarkan data, untuk SMK se-jawa barat baru ada 28,23 persen sekolah ramah anak. Sedangkan SMA sudah mencapai 68 persen. Artinya masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan bersama, bukan hanya di satuan pendidikan, namun juga menjadi pekerjaan rumah bagi sektor lain, agar tercipta masyarakat yang ramah anak.
Pemerintah, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) mendorong setiap Kabupaten/Kota untuk dapat menjaga serta melindungi anak di Kabupaten/Kotanya masing-masing. Dimana dalam peraturan tersebut dijelaskan, tujuan kebijakan KLA adalah untuk mewujudkan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. Dan untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kemitraan, kebijakan dan anggaran, peran, sosialisasi, komitmen antara pemerintah dan seluruh masyarakat sebagai warga negara.
Tulisan pernah dimuat media cetak Radar Cirebon pada tanggal 29 September 2022.