GEMURUH DI PEDALAMAN BATIN

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Hentikan! Tidak usah basabasi
Kami mulai muak dengan serangkaian aturan
Kebijakan memanjakan atasan, menginjak bawahan
Ingat! Tidak semua rakyat negeri ini bodoh

SEBARIK puisi di atas, termaktub dalam puisi berjudul ‘Doa Untuk Negeri’, yang bagi saya selaku penggemar puisi famplet, terasa nikmat saat membacanya. Puisi famplet ditulis untuk mengeritik mekarnya penindasan dari manusia yang kuat atau punya kuasa, terhadap yang lemah atau masyarakat kebanyakan. Barik di atas, terasa nikmat bagi saya, karena menjadi potret nyata Republik yang kita cintai, yang kian marak oleh aneka kesenjangan dan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan, juga ketimpangan dan penindasan bahkan tampak seperti dilindungi oleh sekian aturan yang berusaha adil namun ternyata degil, terlihat bijak tapi nyatanya menginjak, dan sayangnya, semua itu terjadi di Republik beragama dengan mayoritas muslim.

Jika kaum muslimin tidak banyak yang hipokrit (munafik), apa yang dilantangkan oleh penyair Uun dalam puisinya, setidaknya tidak terlalu meruyak jumlahnya. Perilaku munafik memang musuh kemanusiaan, dan musuh semua agama. Maka kembali saya kutipkan quote yang amat berharga dari Voltaire, sastrawan Prancis, katanya, di hadapan uang agama semua orang cenderung sama, yaitu hipokrit.

Maka amat bisa diimani dengan ‘haqqul yaqin’ pernyataan Nabi, yén mereka yang duluan masuk neraka bahkan berada di dasar keraknya, adalah para munafik itu, yang cirinya ada tiga, yaitu apabila bicara ia gemar berdusta, apabila berjanji ia ingkar (seperti politikus saat kampanye), dan apabila diberi amanat suka menyeleweng.

Puisi di atas, dan beberapa puisi lainnya dalam antologi ini, memiliki kebermaknaan dan kebermanfaatan yang besar, yang amat kontekstual dengan kondisi di Republik dari waktu ke waktu, yang di sana-sini terjadi penyelewengan amanat dan wewenang, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, yang dilakukan oleh aparat pemerintah, penegak hukum, pejabat, pengusaha, agamawan, guru dan pendidik, hingga masyarakat luas. Mental hipokrit telah mandarah daging di dalam urat seluruh elemen bangsa kita, dan sulit disembuhkan dengan ajaran-ajaran agama atau norma, petuah-petuah tetua, pun nasihat orang bijak. Karena itu, para penyair harus bersuara lantang, menegur dengan diksi-diksi yang ironistik, satiristik, bahkan bila perlu dengan nada dan irama sarkasme yang menampar wajah siapapun. Puisi harus dinyalakan di pedalaman batin dengan seterang-terangnya, jadi pelita yang diharapkan dapat menggugah kesadaran.

Kebermaknaan puisi, jauh lebih penting dari utak-atik keindahan bentuknya. Tentu akan lebih baik jika keduanya berjalan seiring-seimbang. Melalui buku ‘Menghidupkan Ruh Puisi’ (2018), saya tuturkan, ruh puisi terdapat pada amanat, pesan, atau maksud yang ingin disampaikan penyair. Bila amanat terselubung dan sukar ditangkap, maka puisi itu bisa diibaratkan seperti manusia yang mati suti. Tapi memang untuk dapat menyampaikan amanat yang bernas, penyair harus cerdas, menyerap banyak informasi, dan bisa bernalar dengan benar, agar kata-kata yang didedahkannya bukan hanya gincu-gincu untuk mempercantik pilihan diksi dan penyusunan larik belaka. Pada antologi ini Uun Purnasih berhasil menghidupkan ruh puisinya.

Sebagai aktivis teater, pegiat literasi, dan pendidik di MTs.N 8 Majalengka, yang mengampu mata pelajaran seni budaya, adalah pada diri Uun terdapat perpaduan profesi dan aksi yang ideal, hingga ia dapat berpuisi dengan diksi-diksi yang cemerlang, tidak bergalau-galau dalam sanjak/majas yang salah posisi. Agama, seni, dan budaya memanglah satu paket, maka puisi pun akan terasa syiarnya ketika disyairkan oleh satu orang yang memiliki posisi yang padu-padan itu.

Dalam antologi ini, secara garis besar, topik bahasan yang dianggit oleh Uun, dapat dibagi ke dalam tiga topik, yaitu tema kritik kemanusiaan, amour (cinta), dan pastoral (relijius). Saya tidak perlu menganalisis taksonomi atau bentuk puisinya, dan biarlah pembaca meresepsi sendiri puisi-puisi Uun sebebas-bebasnya, merdeka!

Bandung, November 2022

Doddi Ahmad Fauji
(Analis Literasi Tekstual)

Kontak Personal pemesanan buku melalui WA
Asikin Hasan: +62 821-1550-1824

AhmadFauji

One thought on “GEMURUH DI PEDALAMAN BATIN

  • November 27, 2022 pada 2:26 pm
    Permalink

    Puisi yang menyuarakan kebenaran

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *