Semua Guru Adalah Penggerak, Adalah Motivator, Adalah Pendidik
Analisis Kebahasaan
Oleh Doddi Ahmad Fauji
Misalkan pada pemerintahan yang akan datang, dengan Presiden baru dan Menteri Pendidikan yang baru pula, akankah kurikulum pendidikan pun lahir yang baru? Pertanyaan ini tidak mengada-ada, karena sudah menjadi keresahan umum, ganti Menteri Pendidikan akan ganti kurikulum, dan diikuti oleh sekian penataran yang berbasis anggaran. Dalam penyelenggaraan penataran itu, terjadi pemilihan dan pemilahan peserta, dan tidak seluruh guru mendapatkan kesempatan, karena penyelenggaraannya tidak bisa dilaksanakan serempak, alias harus bertahap dan menyesuaikan pada anggaran. Faktanya, ada guru yang tidak kebagian ikut penataran, karena keburu pensiun ketika jatah untuknya tiba, dan atau keburu ganti menteri Pendidikan.
Pada era Mendikbudristek Mas Nadiem, penataran yang sedang dijalankan diberi nama Pendidikan Guru Penggerak (PGP), dan pada akhir 2022, PGP yang sedang dijalankan sudah memasuki PGP angkatan ke-6. Sebelum era PGP, ada penataran dalam rangka sosialisasi Kurikulum Tahun 2013, yang akronimik diberi nama ‘Kurtilas’.
Dalam PGP maupun Kurtilas, terdapat kesamaan, tentu ada banyak perbedaannya. Namun saya ingin melihat titik kesamaannya, yaitu adanya guru yang dipandang memiliki kelebihan ketimbang guru lainnya, sehingga mereka diangkat menjadi Instruktur (pada Kurtilas) dan Pengajar Praktik atau PP (pada era Nadiem). Pada saat Kurtilas disosialisasikan, ternyata tidak semua guru meraih kesempatan, sebab keburu berganti kebijakan. Pertanyaannya, apakah pada proses PGP yang sudah mencapai angkatan ke-6, semua guru akan meraih kesempatan? Bila melihat masa pemerintahan yang akan berakhir pada Oktober 2024, dan membandingkannya ke jumlah guru yang ada di Tanah Air, secara rasional maka tidak semua guru meraih kesempatan mengikuti PGP, kecuali Presiden baru hasil Pilpres 2024, mempertahankan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud.
Lumayan sulit memang, atau belum terpikirkan oleh para pemegang otoritas dalam dunia pendidikan, bagaimana caranya menyelenggarakan penataran yang bisa dijalankan merata pesertanya dan serempak, hingga semua guru meraih kesempatan mengikuti pendidikan kursus lanjutan macam PGP ini, pada waktu yang relatif berdekatan. Pada sosialisasi Kurtilas, nyatanya, ada guru yang bisa meraih kesempatan lebih karena ia lolos seleksi menjadi instruktur provinsi bahkan nasional, dan tentu ia mendapatkan uang tunjangan yang lumayan, plus kesempatan wisata ke daerah lain.
Buruknya di era sosmed, mereka yang meraih kesempatan menjadi instruktur nasional itu, tampak memamerkannya foto/video di sosmed, yang berdana pencitraan. Yang namanya pamer selalu ada sisi madorotnya. Yang tidak mendapatkan kesempatan sebagai peserta, jika ditanya satu per satu, tentu ada rasa gondok.
Perlakuan di atas, yang dijalankan oleh pemerintah kita dalam dunia pendidikan, terselubung di dalamnya praktik pengajaran karakter feodalistik. Apakah feodalistik itu karakter yang bagus? Ada sisi positif dalam feodalisme, yaitu sopan-santun dan menghormati senior. Namun, banyak yang memanfaatkan feodalisme untuk kepentingan pragmatis dan sesaat. Maka feodalisme dalam dunia pendidikan, dengan sendirinya meniadi hambatan besar bagi program ‘Pendidikann Karakter’ yang didengungkan di sekolah. Hal lain yang ditakutkan, dan memang nyata terjadi, pemilahan kesempatan untuk ikut penataran atau kursus kilat itu, adalah melahirkan mental kasta-isme dalam dunia pendidikan. Lalu apa kabar guru honorer dalam kasta di dunia pendidikan?
Guru honorer adalah ‘objek pelengkap penderita’ dalam susunan sintaksis operasionalisasi Pendidikan di tanah air. Unsur ‘subjek’ tentunya presiden dan menteri pendidikan, sebab kebijakan terbesar, meski mejaring pendapat umum, dalam konsep dan operasionalisasi pendidikan, sangat ditentukan oleh SK yang akan dikeluarkan. Dan kita tahu, jangankan menjadi presiden atau mentri, bahkan menjadi Ketua RT atau RW saja, seakan dituntut harus punya visi dan misi yang berbeda dari pengurus sebelumnya.
Pun ketika seseorang menjadi Raja, Adipati, Lurah, Kadisdik, akan ada visi dan misi perorangan. Yang dihawatirkan, pemimpin baru tidak mau melihat jejak sejarah yang ditorehkan pemimpin sebelumnya, hingga program kegiatan yang bagus dan menyehatkan warga negara, malah dihapus oleh pemimpin baru, sebab setiap pemimpin baru selalu terselip di dalam hatinya, ingin punya jejak sejarah yang melampaui jejak orang sebelumnya. Program Kang Pisman dalam rangka mengurangi sampah di Kota Bandung misalnya, yang dicetuskan saat Ridwan Kamil menjadi Walikota, kini jalan tersendat bahkan hilang di beberapa kawasan. Kenapa atuh walikota pengganti tak bisa melihat, yen membersihkan sampah itu bagian dari implementasi keimanan?
Yen kerancuan seperti digambarkan di atas, sejatinya sudah terjadi sejak Pendidikan kebahasaan di tanah air, yang tampak compang-camping atau liuk sana leor sini, dengan laju yang tersendat-sendat karena kebahasaan di tanah air, harus bersaing dengan internasionalisasi bahasa negara-negara industri yang sukses.
Dulu, pelajaran bahasa Mandarin seperti diharamkan, atau minimal subhat. Kini dengan kemajuan negeri China, pendidikan Bahasa Mandarin terasa digeliatkan dan dimeriahkan. Karena kemajuan teknologi China yang berpengaruh besar pada adab bangsa Indonesia, maka Bahasa Mandarin menjadi salah satu bahasa dari luar yang turut memberikan interverensi ke dalam bahasa Indonesia. Apalagi penguatan teknologi sosmed yang terus berkembang bahkan terasa revolusioner, menjadi sebab paling kuat dalam mengacak-acak tatanan Bahasa Indonesia. Diksi ‘download’ dan ‘upload’ misalnya, dalam praktik kebahasaan, telah berdampak besar penggunaannya dari rakyat hingga ke pejabat. Kira-kira presiden atau menteri, ketika mengutarakan diksi ‘download’ atau ‘upload’ dalam rapat negara, akan menggunakan diksi mana: ‘donlod’ dan ‘aplod’, ‘donlot dan aplot’, atau ‘unduh’ dan ‘unggah’, atau ada diksi lain?
Kerancuan berbahasa inilah yang menginspirasi lahirnya judul tulisan ini: Semua Guru Adalah Penggerak, Adalah Motivator, Adalah Pendidik.
Betapa saya akan terbahak-bahak, jika lahir penataran untuk guru dengan judul ‘Pendidikan Guru Pendidik’. Kenapa harus terbahak-bahak? Karena menertawakan betapa konyol penggunaan bahasa di kalangan para pendidik. Kenapa konyol? Ya tentu, bukankah semua guru itu hakikatnya adalah pendidik?
Berbicara esensi, maka pada hakikatnya, semua guru adalah penggerak, semua guru adalah motivator. Itu sudah pasti, bila kita merujuk pada falsafah pendidikan yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara, dan yang digunakan dalam institusi resmi dunia pendidikan. Mari kita diskusikan di bawah ini.
‘Ing ngarsa sung tulada’ (bila punya karsa, maka harus menjadi teladan). Falsafah ini mengisyaratkan yen guru harus punya karsa, dan ia wajib menjadi teladan alias penggerak dan motivator. Jika ada guru yang tak punya karsa, maka di sinilah masalah besar bangsa kita, terjadi sudah sejak rekruitmen tenaga pendidik. Kenapa atuh institusi pendidikan merekrut orang yang tidak punya karsa untuk menjadi guru, sehingga ketika sudah menjadi guru, ia harus ditatar agar punya karsa?
Faktanya sudah terjadi, ada pendidikan guru penggerak. Kursus atau penataran bernama PGP ini sudah benar diselenggarakan, namun penamaan ‘Guru Penggerak’ ini tampak rancu. Juga istilah ‘guru motivator’ yang berhimpun dalam komunitas atau organisasi khusus, ini tampak lelucon pula, dari upaya ekslusivitas sekelompok orang yang ingin menyatakan mereka ekslusif dan cerdas. Sayangnya, baik yang ikutan PGP maupun komunitas guru motivator, tak jauh beda tuh tingkat wawasan dan kecerdasannya!
***
Penulis adalah Analis Literasi
Analisis yang luar biasa, King DAF. Terima kasih atas pencerahannya
Betul apa yang kang Dodi ungkapkan
mantap kang, bergerak, tergerak, menggerakan
mantap kang, analisisnya