TRADISI BERPROSES

Oleh Doddi Ahmad Fauji *

Hal yang baik dari media tulis-baca bernama koran, adalah tersedianya ruang untuk seseorang menjalani proses dalam mengasah kreativitas intelektualnya, agar terus meningkat dari waktu ke waktu. Koran menyediakan ruang atau rubrik berupa opini, kolom, resensi, reportase, serta halaman sastra (puisi dan cerpen) yang cenderung dimuat di hari minggu, serta novel yang dimuat dalam bentuk cerita bersambung tiap hari. Para penulis yang tulisannya dimuat pada rubrik-rubrik tersebut, akan menerima honor berupa uang.

Selain menjalani proses untuk meningkatkan kualitas tulisan secara substansial, koran juga mengajari para penulis untuk selalu jeli dan teliti dalam tiap pengetikan kata, kalimat, hingga paragraf. Kaidah dan ejaan, benar-benar diperhatikan. Tulisan yang belepotan oleh kesalahan ketik (typo), kesalahan ejaan, apalagi kesalahan berlogika, sepertinya akan sulit dimuat di koran. Karena itu, koran benar-benar melatih para penulis untuk berdisiplin. Redaktur di koran, tidak akan memberikan toleransi pada kesalahan, sebab koran adalah industri yang bertarung dengan kepercayaan pembaca. Pihak koran tidak akan mengambil resiko kehilangan kepercayaan, karena memuatkan tulisan-tulisan tamu, yang bergelimang kesalahan. Jika ditemukan ada penulis yang ‘nakal’ dan main curang, dia akan kena ‘black list’.

Saya butuh setahun latihan menulis puisi terus-menerus, agar dapat dimuat di koran. Koran pertama yang memuatkan puisi saya adalah Bandung Pos, tahun 1991, yang diredakturi oleh Suyatna Anirun. Aktor dan pendiri Studiklub Teater Bandung itu, menjadi redaktur tamu di Bandung Pos dan Mitra Desa. Ia beragama Kristen, sedang puisi saya yang dimuatkan berjudul Tahajud dan Lailatul Qodar. Di sini saya meyakini, bahwa puisi mengandung nilai universal, yang bisa melintasi agama, suku, bahasa, bahkan bangsa dan negara.

Seperti apa puisi yang bagus dan layak muat? Terlalu panjang bila dipaparkan dalam tulisan ini. Bagi yang ingin mengetahuinya, ada baiknya membaca buku seluk beluk dan petunjuk menulis puisi, dengan judul ‘Menghidupkan Ruh Puisi’, yang saya tulis dari hasil permenungan sejak 1990 hingga 2018.

Bila puisi ingin bisa dimuat di koran, syaratnya harus menulis puisi yang bagus dan bebas typo. Untuk bisa menulis puisi bagus, yang ukurannya itu bersifat subyektif, bergantung kepada daya resepsi masing-masing redaktur pada koran, seorang calon penyair dituntut menjalani sebuah proses. Banyak penulis yang berhenti di tengah jalan, karena tak sanggup menjalani proses. Bagi saya, menjalani proses akan melahirkan intensitas, kedalaman, dan tentu kualitas. Kebalikannya, instanisasi cenderung melahirkan hal yang bersifat temporer, permukaan, dan sering kali menilai sebuah hasi, dilihat dari kuantitas.

Tradisi berproses itu sekarang sedang dijungkirbalikkan, sehingga banyak ‘hal’ yang bersifat ujug-ujug. Ujug-ujug ditahbiskan dan atau menahbiskan diri sebagai penyair ternama. Tentu itu syah-syah saja, apalagi di era medsos ini, menjadi ternama, terkenal, tener, sohor, bintang, favorit dengan sekian fans, teknologi dan sarananya telah sangat mendukung. Tinggal rajin berseluncur sambil berselancar di sosmed, ditambah punya keberanian dan ‘euweuh ka era’, siapapun bisa lebih mudah tenar. Wajah kurang fotojenik, toh bisa diedit jadi glowing dan kinclong. Memahami istilah-istilah dunia netter, ada google translate. Hanya memang, belum ada aplikasi otomatis yang bisa mengedit puisi dangkal, menjadi dalam dan manjlebs.

Sekilasan, hal itu, yaitu ujug-ujug alias instanisasi, tampak tidak ada masalah. Namun saya melihat ada sisi bahayanya juga, bila hal yang ujug-ujug itu, ternyata tidak sepadan dengan realitas kualitas serta penghayatannya. Hal itu bisa mendorong banyak hal menjadi serba syar’i alias permukaan, dan renggang dari kenyataan hakikat. Segala sesuatu yang syar’i atau permukaan, cenderung dekat pada wilayah riya alias hipokrit. Riya adalah pamer, dan adalah pertunjukan.

Pengajian dan umroh menjadi seni pertunjukan, dan bukan sebagai kedalaman dalam beribadah. Makin banyak kini yang meng-upload foto sedang beribah di beranda sosmed, menjadi pertanda makin bergesernya nilai dari yang profetik menjadi profan.

Pun dalam berpuisi, memang bisa dimaklumi, kesuksesannya dinilai dari perolehan likers dan komen. Para pemula dalam menulis dan menilai puisi, melihat puisi dari pola rima, dengan diksi yang terasa benar dipaksakan demi mengejar rima itu. Reliatas berpuisi untuk pemula memang umumnya seperti itu. Semoga mereka kemudian mau membaca dengan sungguh-sungguh puisi-puisi para penyair pendahulu, terutama karya penyair modern dan kontemporer, yang terhitung sejak generasi Amir Hamzah dan Chairil Anwar, agar puisi mereka makin sublim, menggugah, dan menarik.

Saya sebagai layoter dan editor di penerbitan, seringkali mengurut dada, karena cukup banyak puisi yang diterbitkan, secara kualitas, terasa seperti kembali ke jaman Pujangga Baru yang mendayu-dayu. Menghadapi kondisi itu, saya tidak boleh berhenti di mengeluh, tapi harus terjun untuk ikut menutor perlahan-lahan para penyair calon. Bersyukur pula beberapa penyair pendahulu dari generasi kelahiran 1940-an, tampak turun gunung dan ikut berjibaku.

Di jaman koran berdaulat, bahkan untuk menjadi pimpinan di koran pun ditempuh melalui proses dan jenjang karier, dan tentu tidak ujug-ujug. Ada semacam uji kelayakan untuk seseorang agar dapat menduduki posisi redaktur, redaktur pelaksana, hingga pemimpin Redaksi. Meskipun posisi Pemimpin Redaksi itu bersifat politis, yang ditempuh karena kinerja kepemimpinan, atau terkadang karena like or dislike dari pemodal, namun kualitas atau kompetensinya dalam bidang menulis serta praktik jurnalistik, tetap tidak bisa begitu saja dikesampingkan.

Kita membutuhkan lebih banyak media jurnalistik yang berkualitas, yang benar menurut kode etik dan prinsip-prinsip jurnalistik, guna mewujudkan masyarakat madani yang demokratis. Namun keadaan di era melimpahnya internet, kebutuhan mendasar untuk berbangsa dan bernegara itu, terasa kian terancam. Kini bertebaran flatform media jurnalistik internet, dengan isi yang diragukan keabsahannya. Akhirnya, hoax pun makin mudah menyebar.

Tradisi berproses memang sedang menyusut, dan berganti menjadi taradi instanisasi yang tengah menjadi mainstream, yang membuat seseorang bisa ujuh-ujug menjadi penulis, bahkan jadi pemimpin redaksi, dengan minim pengalaman dan wawasan jurnalistik.

Tradisi berproses itu, harus dipertahankan dan dinikmati tahapan-tahapannya. Bukankah manusia dilahirkan, tetap akan berproses? Memang dalam menjalani proses itu, ada yang lamban dalam penempuhannya, namun ada yang bisa cepat menyelesaikannya, dan ada juga yang dapat melakukan lomtapatan-lompatan langkah, hingga dapat dengan cepat mencapai hasil yang ditargetkan, bahkan melampaui target. Mereka yang mampu menjalani proses dengan cepat itu, disebabkan ia memiliki kecerdasan dan daya akselerasi yang tinggi. Nah, bagaimana meningkatkan kecerdasan dan daya akselerasi warga negara, itulah yang perlu kita kejar, yang artinya, tetap tidak meninggalkan proses.

Apa yang disebut dengan istilah formula, resep, rumus, tatacara, teknik, metode, etiket, istilah-istilah lainnya, untuk meningkatkan kecerdasan dan akselerasi itulah, yang harus terus kita cari hingga ketemu, dan bukan memberikan ruang terbuka luas bagi seseorang meninggalkan tradisi berproses. Godaan-godaan agar segera sampai pada tujuan, lalu melakukan pencitraan dari hasil instanisasinya itu, dengan mengobarkan semangat narsisme, menurut saya, adalah kebodohan yang nampak, dan yang menjadi musuh dari kemajuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Instanisasi sebenarnya juga proses, tapi dilakukan percepatan, dan kadang meniadakan beberapa tahapan yang dirasa menghambat, agar segera tercapai maksud. Instanisasi dibutuhkan juga untuk hal-hal yang bersifat pragmatis, misalnya bagaimana panen padi bisa dipercepat. Dalam hal ini, instanisasi bermakna sebagai intensifikasi. Sekali lagi, kerja instansisasi untuk bidang yang bersifat pragmatis, bisa dikerjakan dengan tetap mengindahkan etika dan moralitas.

Hal-hal yang fundamental, tetap harus ditempuh melalui proses. Misalnya pnciptaan mesin, komputer, dan telepon, tetaplah harus ditempuh melalui proses yang panjang, dan itu harus dicanangkan oleh pemerintah. Bila tidak menempuhnya, maka sampai kapanpun bangsa ini akan selalu mejadi user dan follower bangsa berteknologi canggih. Ketiga perangkat tadi, amat penting keberadaannya karena dapat mempercepat proses pengembangan dan kemajuan bidang-bidang lain. Pengadaan tiga benda tadi, tidak bisa diadakan secara instan dan pragmatis, karena akan nyata telah menguras keuangan bangsa kita. Secara pragmatis, pengadaan benda tadi adalah dengan konvensi yang sudah dijalankan, yaitu mengimpor.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menyelenggarakan pendidikan kejuruan sedari tingkat SMP, yang dapat melacak minat serta bakat anak bangsa di bidang teknologi, dan mereka diterpa sejak diri, dibiayai, dan diorientasikan sebagai insinyur yang dapat menciptakan mesin, komputer dan telepon karya anak bangsa. *

  • Doddi Ahmad Fauji, Analis Literasi Tekstual, tinggal di Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *