PROYEK BERSAMA MENULIS KRITIK-ESAI

Sejak awal semester akhir, saya mengajak siswa Kelas XII untuk berkarya melalui Proyek Bersama. Targetnya yaitu dua proyek selesai sebelum pelaksanaan Ujian Sekolah. Pertengahan Februari kemarin, kami telah menyelesaikan projek pertama, yaitu menulis artikel. Selanjutnya, artikel tersebut dipresentasikan dalam bentuk visual (infografis, komik, dsb.), audio berupa rekaman suara, atau audiovisual berupa video. Saya menyebut ‘kami’ karena saya pun menulis artikel.

Sebelum menulis lebih jauh, mungkin ada di antara pembaca yang gatal ingin bertanya. Penulisan yang tepat sesuai ejaan bahasa Indonesia terkait kata proyek. Mana yang tepat: proyek atau projek? Kita telah mengenal model pembelajaran PjBL (Project Based Learning) yang diindonesiakan menjadi Pembelajaran Berbasis Projek. Pada Kurikulum Merdeka pun kita mengenal istilah P5, kependekan dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Kita juga mengenal kata subjek dan objek, bukan subyek atau obyek. Bila makin penasaran, cek KBBI. Sementara ini, saya lebih memilih kata proyek dalam tulisan ini.

Baiklah, kita kembali pada pembahasan awal. Proyek terakhir yang kami garap bersama ialah menulis kritik dan esai sastra. Awalnya, saya berencana untuk memerdekakan siswa dalam memilih bahan tulisan, seperti halnya pada saat proyek menulis artikel. Bagi yang suka olahraga, silakan amati satu atlet, atau satu klub, atau satu pertandingan, buat kritik/esai. Bagi yang suka bermusik, silakan amati satu musisi atau satu lagu, buat kritik/esai. Pun yang senang lukisan, atau tarian, atau sastra, atau lainnya, amati dan buat kritik/esainya.

Mengapa demikian? Selain karena tuntutan diferensiasi dalam pembelajaran, yang paling utama saya khawatir akan kemampuan siswa dalam bersastra. Bagaimana pun, penguasaan teori sastra menjadi bekal utama dalam menulis kritik/esai. Saya merasa, selain minat siswa, bobot pembelajaran sastra di SMA masih sangat kurang.

Selang beberapa hari, saya pikirkan ulang rencana tersebut. Bila dimerdekakan, saya khawatir siswa lebih mudah copas dari internet. Ketika memilih lagu Tulus, misalnya, siswa tinggal googling saja. Ketik kata kunci: ulasan lagu hati-hati di jalan. Berjejerlah hasil pencarian ulasan lagu tersebut. Siswa bisa memilih ulasan yang kira-kira cocok. Artinya, tulisan mereka tidak akan orisinal.

Sebagai guru bahasa Indonesia, saya merasa bertanggung jawab memberikan bekal kemampuan menulis dan berbicara kepada siswa. Rangsangannya ialah memperbanyak bahan simakan dan bahan bacaan berkualitas. Rangsangan tersebut rutin diberikan, baik saat KBM di kelas maupun via chat WAG Kelas. Dan, saya ingin melihat hasilnya pada proyek bersama ini.

Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, bahan kritik/esai saya sediakan: sebuah ebook kumpulan cerpen karya saya, guru mereka sendiri. Sudah bisa dipastikan tidak akan ada yang bisa googling karena merekalah yang pertama kali akan mengapresiasi karya tersebut. Selain dibagikan file pdf-nya, ebook tersebut bisa pula diakses melalui https://bit.ly/RinduAbang secara online.

Ada 18 cerita dalam kumpulan cerpen tersebut. Siswa bisa memilih satu cerita saja, atau beberapa cerita, atau bisa pula memilih semua cerita untuk bahan kritik/esainya. Siswa pun bebas memilih: menulis kritik saja, atau esai saja, atau menulis keduanya. Selama tenggat waktu satu hingga dua pekan menjelang US, siswa diberi kesempatan minimal satu kali pertemuan untuk melakukan bimbingan dengan saya. Pertemuan berikutnya, siswa boleh langsung mengumpulkan hasilnya.

Sebelumnya, siswa diberikan bekal ala kadarnya terkait konsep kritik dan esai, termasuk diberikan beberapa contoh tulisan kritik dan esai. Saya ingatkan pula, “Bila kalian temukan celah kekurangannya, bolehlah kalian menulis kritik. Bila sulit ditemukan, jangan paksakan. Temukan saja poin menariknya. Tulislah esai.”

Selama tenggat waktu tersebut, saya merasakan nikmatnya berproses, mulai dari pendampingan memilih cerita, mendiskusikan isi dan penyajiannya, menghubungkannya dengan realitas, hingga mulai membimbing mereka dalam menulis kritik/esai. Rupanya tak hanya saya, wajah dan binar mata siswa pun menyiratkan antusiasme dan kebahagiaan.

Mendampingi siswa sebanyak enam kelas bukan pekerjaan santai. Bisa dibayangkan, anggap satu kelas ada 30 siswa saja, maka bila enam kelas sama dengan 30 dikali 6. Jadi berapa, tuh? Rasanya santai saja saya ladeni satu per satu pertanyaan-pertanyaan mereka. Nikmat saja saya baca satu per satu tulisan mereka. Saya koreksi beberapa hal yang kurang, baik dari segi ejaan maupun gagasan tulisan mereka. Jawaban ‘Siap!’ dan ‘Terima kasih, Pak!’ mampu merekahkan senyum di hati.

Ada beberapa siswa bertanya, “Bapak baca semua pekerjaan siswa? Kok bisa? Gak pusing, Pak?” Tentu saya jawab telak, “Ya. Kalau sudah biasa, pasti akan sangat mudah. Maka, bila kamu mengetahui ada satu kebaikan, rutinkan! Nanti akan bisa dibuktikan sendiri bahwa hal baik yang kamu rutinkan itu teramat menguntungkan dirimu.”

Mengenai proyek, bagaimana hasilnya? Sebagaimana kurva normal, umumnya akan menghasilkan tiga kategori. Kategori pertama yang paling banyak ialah kategori biasa. Sisanya ialah kategori luar biasa: bagus dan jelek. Alhamdulillah, kategori biasa ini bisa dikatakan telah memenuhi syarat minimal ide orisinal dan tata bahasa cukup rapi. Dengan proses yang saya hafal, sejauh ini cukup memuaskan. Hanya beberapa siswa malas yang masuk kategori jelek dalam artian hanya kopas tulisan teman. Beberapa lainnya bisa dikatakan bagus dan memuaskan karena selain original, idenya tak biasa dan bahasannya cukup mendalam. Beberapa file bisa saya bagikan untuk para pembaca budiman. Silakan sedot di https://bit.ly/pb-kres secara percuma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *