Samen: Tradisi “Pesta Perpisahan” Sekolah Dasar di Masyarakat Pasundan
Oleh: Amran Halim, S.S
Ketidakhadiran orang tua saat anak tampil di acara sekolah, sering menjadi sad story bagi sang anak perempuan atas kesibukan orang tuanya terutama sang ayah.
Inilah moment pertama saya dalam posisi si ayah tersebut. Saat Jumat telah senja segera saya meninggalkan Ibu Kota menuju Pangalengan, Kab. Bandung. Demi menyaksikan sang anak perempuan tampil pertama kalinya pada acara Samen di SD. Suka Bungah, Desa Margamekar, Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, Jawa Barat.
Tidak semua Sekolah tingkat Dasar menggelar pesta perpisahan serta kenaikan kelas. Namun di beberapa daerah di Jawa Barat, terutama wilayah Pasundan dikenal istilah Samen. Saya sebagai orang Cirebon meski masih Jawa Barat tidak mengenal Samen. Pesta perpisahan hanya ada di tingkat SMP dan SMA namun tidak disertai pesta kenaikan kelas seperti Samen.
Namun acara Samen ini hanya digelar di Sekolah Dasar, tidak ada Samen untuk tingkat SMP apalagi SMA. Isian acaranya adalah pentas seni dari tiap perwakilan kelas. Mulai dari kelas 1 hingga kelas 5. Sementara siswa kelas 6 sebagai “pengantin hajat” yang menerima persembahan kreasi seni dari para adik tingkatnya.
Putri saya Sabrina Shalihatunnisa, adalah siswi kelas 1, dan Samen ini adalah momen pertama kenaikan kelasnya. Karena terbebani kisah-kisah sad story antara anak perempuan dan ayah di banyak film Hollywood atau Animasi produksi Fixar, saya harus menyempatkan hadir. Demi menyaksikan hasil latihannya menari sejak beberapa minggu sebelum hari ini.
Dengan biaya Rp. 100K persiswa, acara Samen digelar meriah seperti pesta pernikahan. Panggung besar dengan sound, tenda dengan dekoran mewah digelar di lapangan upacara. Tentu kursi yang berderet di depan panggung untuk orang tua siswa kelas 6. Bagi orang tua dan siswa kelas 1-5 berderet di lorong-lorong kelas samping panggung.
Rangkaian acara dimulai sambutan-sambutan – seperti biasanya. Dilanjutkan sungkeman dan simbolik “pemberian doa restu” sang guru pada muridnya. Mengandung “irisan bawang” pada bagian ini. Tapi anehnya irisan bawang itu hanya berefek pada guru-gurunya tidak pada siswanya.
Pada bagian ini, efek “irisan bawang” berhembus ke mata saya. Entah mengapa saya yang bukan seorang guru seolah merasakan betapa pada akhirnya anak-anak didiknya harus beranjak pada tahap pendidikan selanjutnya, meninggalkannya dan mungkin saja melupakannya.
Teriring doa untuk seluruh guru, baik yang masih di alam dunia atau telah menemui amal ibadahnya dalam menyalurkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan. Alfatihah.
Rangkaian acara selanjutnya adalah penampilan pentas seni dari kelas 1 hingga kelas 5. Putri saya yang akan naik ke kelas dua harus segera bersiap karena berada pada urutan awal pentas. Kami pun berfoto sebelum pentas.
Giliran Sabrina dan teman-temannya pentas, saya berada di belakang panggung, karena kursi di depan panggung hanya untuk tamu undangan dan orang tua siswa kelas 6. Saat naik panggung masih sempat ia nengok dan cengengesan.
Seperti semestinya, latihan hanyalah latihan. Formasi saja sudah pada lupa. Tentu saya tidak akan menilai kualitas tarian anak-anak di sini. Hal paling pentingnya adalah mengasah keberanian untuk tampil di depan publik, dan saya telah menunaikan kewajiban sebagai ayah: menyaksikan penampilan pertama putrinya di acara sekolah; Samen pada acara kenaikan kelasnya, yang tidak akan dialami oleh teman sekelasnya di Cirebon.