Al-Husein dan Puncak Tauhid
Oleh : Muhammad Rifqy Nur Fauzan
Berulang kali telah kukatakan, kini kembali kukatakan, dan akan terus kukatakan kemudian, bahwa tak ada dualitas wujud dalam dunia cinta. Cinta akan meniadakan wujud pecinta, dan menyisakan satu wujud saja, yaitu wujud kekasih.
Cinta membutakan mata kekasih dari selain kekasih, hingga pecinta tak lagi melihat yang lain selain kekasihnya semata. Seperti kata Ali bin Abi Tholib, tidaklah aku melihat sesuatu, kecuali sebelum, bersama dan sesudah sesuatu tersebut, aku melihat Tuhan.
Tauhid para pecinta adalah tiada kehendak selain kehendak kekasih, tiada yang disaksikan kecuali wujud kekasih. Di hadapan kekasih, pecinta membudak, kehilangan kehendak.
Saat itu, ia akan berkata seperti kata Al-khallaj, ana alhaq wa alhaqq ana. “aku adalah Tuhan, Tuhan adalah aku” merupakan penafian eksistensi dan kehendak diri, sekaligus penegasan eksistensi dan kehendak kekasih.
Kemanakah Al-khallaj ketika kata-kata “ana alhaq wa alhaq ana” mengalir dari lisannya? Sungguh, Al-khallaj telah tiada saat itu. Ungkapan tersebut bukan kehendaknya, bukan pula ucapannya, tapi kehendak dan ucapan Alhaq.
Ribuan tahun sebelum Al-khallaj, di Padang Arafah, Al-husain mengajarkan puncak tauhid para pecinta. Salah satu dari dua pemuda ahli syurga itu bermunajat:
“Tuhan, apakah ada wujud yang jelas selain wujud-Mu, hingga ia menjadi penjelas wujud-Mu? Kapan Engkau ghoib, hingga dibutuhkan dalil yang memperlihatkan wujud-Mu? Kapan Engkau jauh, hingga dibutuhkan perantara menuju-Mu”.
Lihatlah, dalam pandangan Al-husain, tak ada wujud yang jelas selain wujud-Nya. Tuhan hadir di setiap entitas, dan Al-husain menyadari dan menyaksikan itu. Al-husain tidak berkata, tidak ada wujud yang LEBIH jelas dari Tuhan. Sebab itu mengafirmasi adanya wujud lain yang juga jelas, tapi tidak lebih jelas dari Tuhan. Al-husain berkata, tidak ada yang JELAS selain Tuhan. Artinya, hanya Tuhan semata yang jelas, selain-Nya adalah ketidakjelasan.
Dalam bahasa sufistik, ciptaan adalah manifestasi wujud Pencipta, sedang manifestasi adalah bayangan. Adakah bayangan yang lebih jelas dari pemilik bayangan? Bayangan adalah kefaqiran, adalah kebergantungan. Di hadapan pemilik bayangan, bayangan adalah ketiadaan, tak memiliki kehendak. Kita hanya bebendaan, tak bercahaya secara esensial. Kita menampak, berkat cahaya.
Al-husain bukan kita-kita ini, yang mempersepsi Tuhan sebagai wujud gaib, bahkan wujud yang seolah-olah tidak ada. Manakah yang lebih jelas, Tuhan yang hadir di mana-mana, atau tulisan yang sedang anda baca ini? Mana yang lebih nyata, chat bersama teman, atau berdoa pada Tuhan? Jawaban yang kita berikan merupakan cermin yang menampilkan level ketauhidan diri.
Lantas siapakah Al-husain? Al-husain adalah kiblat para pahlawan kemanusiaan. Yang darinya, Mahatma Gandi, Soekarno, Che Guevara, Ho chi min, dan lain-lain, mengambil semangat perlawanan terhadap penindasan. Sungguh bodoh lah kita, bila menutup mata dari sejarah berdarah Al-husain, hanya karena ego mazhab.
Al-husain adalah pecinta yang mengorbankan dirinya demi ajaran Kekasih. Al-husain adalah putra Fatimah dan Ali bin Abi Tholib, dialah cucu Rasulillah, dialah yang memerahkan Karbala dengan darahnya, dialah yang terbunuh tanpa pembela, dialah yang dibantai oleh mereka yang mengaku umat dan khalifah nabi, dialah pewaris ilmu dan akhlak nabi, dialah yang berkata al-mautu aula min rukubil’ari/kematian lebih baik daripada hidup berkalang kehinaan, dialah yang berkata haihat minazzillah/tidak pada kehinaan, tidak pada EKSPLOITASI.
Dan pada akhirnya, Al-husain adalah dia yang di hadapan ribuan musuh Islam, berorasi:
“levelku bukan level mereka yang takut pada kematian. Betapa kematian dalam menggapai kemuliaan dan menghidupkan kebenaran, adalah hal yang mudah. Hakikatnya, kematian di atas jalan kemuliaan, tidak lain adalah kehidupan abadi. Dan kehidupan dalam kehinaan, tidak lain adalah kematian tanpa kehidupan.
Apakah kalian menakut-nakutiku dengan kematian? Tidak, kelirulah anggapanmu, musnahlah sangkaanmu. Aku bukan orang yang takut pada kematian. Jiwaku lebih agung dari itu, citaku lebih tinggi dari menerima kezaliman hanya karena takut pada kematian.
Apakah kalian bisa berbuat lebih banyak dari membunuhku? Selamat datang duhai kematian di jalan Tuhan. Kalian tak akan mampu mematikan, membunuh dan menghilangkan kemuliaanku. Maka, aku tak akan menghindari kematian.
*Muhammad Rifqy Nur Fauzan
– Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda HMI Komisariat Insan Cita Cabang Bekasi Periode 2022-2023
– Sekretaris Jenderal PERGUNU PAC Bekasi Timur
– Hubungan Masyarakat Botjah Angon Bekasi Raya